Saturday, June 02, 2012

tidurlah




Pada akhirnya malam akan menjemput sore yang sudah lelah menggantikan siang. Tidurlah, menikmati alam bebas nilai saat sepenuhnya rasa disandarkan pada kehendakNya. Apapun itu rasa yang sedang menyelimuti hatimu, biarkan mati rasa ini melingkupi sepenuhnya, hingga hanya dia yang tak berasa yang kita punya. tidurlah.

Sama sepertimu, akupun ingin hidup ini selalu berjalan damai. Menikmati bahagia sepenuh usia selayaknya cita-cita manusia pada umumnya. Akupun sepertimu yang merasakan kacau  hingga lapangnya dunia tak tertangkap lagi dipandangku, semua menyempit, menjepit. Menghimpit.

Seperti seringkali aku tak percaya akan mampu melewatinya, sesering itu pula aku kemudian ternganga bahwa aku sudah di cerita lainnya, aku menyelesaikannya. Menyelesaikannya untuk menuju cerita selanjutnya. berputar, berganti, berotasi.
Seperti siang tadi sekarang sudah menjadi malam. Malam untuk besok akan berganti menjadi siang yang baru. tidurlah.

***
tidurlah-payung teduh

Labels:

Ilusi



Sebuah catatan 14 tahun reformasi

Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah dilakukan sejak negara ini berpredikat merdeka. Meskipun demikian jumlah orang miskin di Indonesia cenderung masih besar. Dewasa ini masalah penanggulangan kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari perubahan struktural yang terjadi pasca reformasi. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana dampak perubahan struktural yang terjadi pada saat reformasi dan kaitannya akan kinerja program penanggulangan kemiskinan?

reformasi tak tepat waktu
Yang dihadapi Indonesia pasca reformasi adalah perubahan struktur pemerintahan, politik dan ekonomi. Di era Orde Baru, sistem pemerintahannya adalah otoritarian. Hubungan trias politica sepenuhnya didominasi oleh birokrat, diikuti oleh yudikatif dan terakhir legislatif. Peran legislatif tidak lebih sebagai alat legitimasi kebijakan pemerintah dan ‘alat pelengkap’ demokrasi semata. Kala itu, sistem pemerintahan mengikuti pendekatan top down. Tidak mengherankan ketika itu jika posisi seorang Menteri Koordinator (Menko) adalah sangat kuat dan mampu mengkoordinasikan departemen-departemen teknis di bawahnya. Sistem pemerintahan juga cenderung sentralistis, di mana Jakarta merupakan pusat dari segala pengambilan keputusan dan aktivitas politik maupun ekonomi.
Krisis ekonomi memaksa negeri ini untuk melakukan reformasi menggulingkan rezim Orde Baru. Reformasi terjadi pada dua sisi sekaligus, ekonomi dan politik.
Ketika negara dalam kondisi darurat, akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, sistem pemerintahan yang ideal mengatasi masalah krisis seperti itu idealnya adalah pemerintahan otoritarian. Namun pada saat reformasi, krisis ekonomi justru diikuti oleh peralihan dari pemerintahan otoritarian menuju pemerintahan demokratis yang cenderung terlalu egaliter. Tidaklah mengherankan jika krisis ekonomi di Indonesia berkepanjangan, lebih panjang dari negara-negara tetangga, misalnya Malaysia, Thailand dan Korea Selatan, karena sistem pengambilan keputusan yang idealnya dilakukan cepat kala itu, atas nama demokrasi, dilakukan dengan cara yang berbelit.

Sejarah di dunia menunjukkan bahwa demokrasi lebih tepat berlaku pada saat kondisi negara tidak dalam krisis. Di masa krisis, atau di masa perang, negara-negara paling demokratis di dunia-pun menerapkan undang-undang darurat, yang berarti bahwa bentuk pemerintahan saat itu adalah otoritarian.

Induk masalah pasca reformasi
Adalah IMF masuk ke Indonesia atas undangan Suharto pada pertengahan September 1997. Undangan pada diajukan dengan asumsi bahwa krisis hanya bersifat sementara, sehingga bantuan IMF hanya untuk berjaga-jaga (precautionary) terhadap kemungkinan berlanjutnya spekulasi terhadap rupiah.

Ketika kemudian tidak ada tanda-tanda bahwa spekulasi terhadap mata uang Asia akan berlalu, pemerintah akhirnya memutuskan untuk ikut dalam Program IMF pada November 1997. Perpecahan antara IMF dan Suharto segera terjadi menyusul penutupan 16 bank, dua di antaranya adalah milik keluarga dekat Suharto, dan pembatalan proyek-proyek publik besar, yang juga melibatkan keluarga Suharto. Serentetan kebijakan ‘perlawanan’ yang diambil Suharto kemudian untuk mempertahankan kepentingan keluarganya ini merusak kredibilitas pengelolaan ekonomi Indonesia.

Konflik antara IMF dan Suharto baru berakhir ketika kabinet baru yang berisi orang-orang kepercayaan Suharto meyakinkannya bahwa Program IMF sebagai satu-satunya pilihan kebijakan untuk keluar dari krisis pada Maret 1998. Sejak saat itu, peran IMF mengelola ekonomi Indonesia diterima secara de facto, baik oleh pelaku ekonomi dalam dan luar negeri, maupun oleh para politisi.

IMF terlibat dalam proses perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan. Hasil evaluasi IMF atas pelaksanaan Letter of Intent (LoI) menjadi barometer kredibilitas pemerintah, dan seringkali menentukan fluktuasi nilai tukar rupiah. Pelbagai studi studi empiris (seperti Bruno dan Easterly (1996), Drazen dan Easterly (1999) memperlihatkan korelasi antara krisis dan implementasi reformasi ekonomi.

LoI yang ditandaatangani di masa Presiden Soeharto berestafet pada pemerintahan Presiden BJ Habibie. Efek paling besar dapat terlihat pada kinerja DPR yang menghasilkan 77 Undang-undang selama kurang dari dua tahun pemerintahan Presiden Habibie. Apa ini normal sedangkan rata-rata DPR hanya hasilkan belasan UU pertahunnya. Kenyataan menunjukkan bahwa membuat Undang-Undang adalah hal yang rumit dan memakan waktu lama.

Keberadaan 77 UU dalam waktu 2 tahun kemudian diketahui banyak yang merupakan adopsi dan bahkan translasi dari UU dari negara lain. Termasuk di dalam kelompok tersebut adalah UU persaingan usaha, UU Bank Indonesia, otonomi daerah, UU tentang peraturan kelistrikan, energi dan SDA di Indonesia. Ini secara fundamental merubah struktur berbaai aspek di Indonesia.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana dampak ke 77 UU tersebut terhadap struktur pemerintahan dan ekonomi di Indonesia? Hal inilah yang kita rasakan hingga hari ini. 77 UU (Bank Sentral, SDA, kelistrikan, tata kelola keuangan negara) instan tadi telah menajadi payung puluhan UU lain setelahnya. Sehingga tanpa sadar kebijakan IMF yang terbukti gagal kala itu menjadi landasan banyak tata kelola negara kita hinga kini.

Maka tidak berlebihan bila kita menyebut ini serupa kanker ekonomi. Dia terus menjalar menginveksi setiap sendi ekonomi. Maka tidak lebih berlebihan jika kita khawatir lambatnya penurunan angka kemiskinan di negara tercinta ini. Karena yang sedang kita nikmati adalah ilusi. Ilusi reformasi.

Labels:

sia-sia?

Apa tuhan punya motif dalam mencipta takdir makhluknya?
Pertanyaan ini sekelebat hadir sore tadi dipikiranku. Berawal dari menjelajahi indahnya sore kota Jogja. Entah sudah berapa tulisan yang ku awali dengan aktifitas serupa ini. Mau dikata apa, memang begini kebiasaanku. Sejak dulu.
Sudah menjadi  tabiat, saat gelisah memilih menghibur diri dengan mengitari jalanan, menjelajahi sut kota, melihat hiruk pikuk manusia dalam ragam kegiatannya atau hanya sekedar duduk di bangku hijau di depan Benteng Vredeburg. Walau tidak memberi jawaban atas permasaalahan dan bahkan lebih sering memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang apapun itu yang terlewati.
Kali ini kalimat itu yang muncul di benak, Apa tuhan punya motif dalam mencipta takdir makhluknya?
Kata firman disebutkan tiada yang sia-sia dari yang diciptakanNya. Aku meyakini setiap apa yang dilakukan diri pasti memiliki tujuan. Begitupun manusia, Semua perbuatan kita memiliki “supaya...” untuk apa hari ini aku belajar? Supaya terdidik dan mampu mencipta hidup yang lebih baik. Untuk apa kamu bekerja? “supaya” mendapat hasil dan dapat menyambung hidup. Dan begitu seterusnya.
Setiap “untuk apa” memiliki jawaban “supaya”. Kata “supaya” adalah sebuah kata yang menjadikan perbuatan manusia bermakna. Sedangkan, laku tanpa tujuan laksana kalimat tanpa makna, bak kulit tanpa isi.
Aku meyakini, bagaimanapun dalam tiap perbuatan rasionalnya, manusia mempunyai motif dan tujuan. Tiap ada “untuk apa” selalu ada “supaya”. Bila laku sudah kehilangan “untuk apa” dan “supaya” maka dia menjadi sia-sia.
Menurutku tak akan pernah ada perbuatan yang sepenuhnya sia-sia. Hal itu adalah sebuah kemustahilan. Barangkali ia hanya kan menjadi relatif dengan perbuatan lainnya. Misal, perbuatan yang dipicu oleh keinginan dan pandangan ilusif tertentu. Karena tak dikaitkan dengan maksud dan tujuan yang masuk akal kita akan memandangnya sebagai sia-sia. Jadi, dalam hubungannya dengan pelaku tertentu, perbuatan itu dilukiskan sebagai sia-sia. Tapi, dalam hubungannya dengan sumber dan subjek yang relevan tidak melaksanakannya justru akan menjadi sia-sia.
Setidaknya itu keyakinanku.
Barangkali itu yang menjelaskan kenapa perjalanku tanpa tujuan sore ini dan sore-sore dulu tidak aku rasakan sebagai kesia-siaan. Walau sering saat aku ceritakan ke beberapa kawan mereka menyebutku gila atau kurang kerjaan.
Kadang memang ada saat dimana hanya aku yang benar-benar paham akan apa yang aku lakukan. aku yang paling tahu itu bertujuan, toh aku hidup bukan dari persepsi sekitaran, aku hidup di takdir Tuhanku yang lepas dari kesia-siaan.

tempat biasa
untuk kesekian kalinya

Labels: