Sebuah catatan 14 tahun reformasi
Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia
telah dilakukan sejak negara ini berpredikat merdeka. Meskipun demikian jumlah
orang miskin di Indonesia cenderung masih besar. Dewasa ini masalah
penanggulangan kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari perubahan struktural yang
terjadi pasca reformasi. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana dampak
perubahan struktural yang terjadi pada saat reformasi dan kaitannya akan
kinerja program penanggulangan kemiskinan?
reformasi
tak tepat waktu
Yang dihadapi Indonesia pasca reformasi
adalah perubahan struktur pemerintahan, politik dan ekonomi. Di era Orde Baru,
sistem pemerintahannya adalah otoritarian. Hubungan trias politica sepenuhnya
didominasi oleh birokrat, diikuti oleh yudikatif dan terakhir legislatif. Peran
legislatif tidak lebih sebagai alat legitimasi kebijakan pemerintah dan ‘alat
pelengkap’ demokrasi semata. Kala itu, sistem pemerintahan mengikuti pendekatan
top down. Tidak mengherankan ketika itu jika posisi seorang Menteri Koordinator
(Menko) adalah sangat kuat dan mampu mengkoordinasikan departemen-departemen
teknis di bawahnya. Sistem pemerintahan juga cenderung sentralistis, di mana
Jakarta merupakan pusat dari segala pengambilan keputusan dan aktivitas politik
maupun ekonomi.
Krisis ekonomi memaksa negeri ini untuk
melakukan reformasi menggulingkan rezim Orde Baru. Reformasi terjadi pada dua
sisi sekaligus, ekonomi dan politik.
Ketika negara dalam kondisi darurat, akibat
krisis ekonomi yang berkepanjangan, sistem pemerintahan yang ideal mengatasi
masalah krisis seperti itu idealnya adalah pemerintahan otoritarian. Namun pada
saat reformasi, krisis ekonomi justru diikuti oleh peralihan dari pemerintahan
otoritarian menuju pemerintahan demokratis yang cenderung terlalu egaliter.
Tidaklah mengherankan jika krisis ekonomi di Indonesia berkepanjangan, lebih
panjang dari negara-negara tetangga, misalnya Malaysia, Thailand dan Korea
Selatan, karena sistem pengambilan keputusan yang idealnya dilakukan cepat kala
itu, atas nama demokrasi, dilakukan dengan cara yang berbelit.
Sejarah di dunia menunjukkan bahwa demokrasi
lebih tepat berlaku pada saat kondisi negara tidak dalam krisis. Di masa
krisis, atau di masa perang, negara-negara paling demokratis di dunia-pun
menerapkan undang-undang darurat, yang berarti bahwa bentuk pemerintahan saat
itu adalah otoritarian.
Induk
masalah pasca reformasi
Adalah IMF masuk ke Indonesia atas undangan
Suharto pada pertengahan September 1997. Undangan pada diajukan dengan asumsi
bahwa krisis hanya bersifat sementara, sehingga bantuan IMF hanya untuk
berjaga-jaga (precautionary) terhadap kemungkinan berlanjutnya spekulasi
terhadap rupiah.
Ketika kemudian tidak ada tanda-tanda bahwa
spekulasi terhadap mata uang Asia akan berlalu, pemerintah akhirnya memutuskan
untuk ikut dalam Program IMF pada November 1997. Perpecahan antara IMF dan
Suharto segera terjadi menyusul penutupan 16 bank, dua di antaranya adalah
milik keluarga dekat Suharto, dan pembatalan proyek-proyek publik besar, yang
juga melibatkan keluarga Suharto. Serentetan kebijakan ‘perlawanan’ yang
diambil Suharto kemudian untuk mempertahankan kepentingan keluarganya ini
merusak kredibilitas pengelolaan ekonomi Indonesia.
Konflik antara IMF dan Suharto baru berakhir
ketika kabinet baru yang berisi orang-orang kepercayaan Suharto meyakinkannya
bahwa Program IMF sebagai satu-satunya pilihan kebijakan untuk keluar dari
krisis pada Maret 1998. Sejak saat itu, peran IMF mengelola ekonomi Indonesia
diterima secara de facto, baik oleh pelaku ekonomi dalam dan luar negeri,
maupun oleh para politisi.
IMF terlibat dalam proses perumusan,
implementasi, dan evaluasi kebijakan. Hasil evaluasi IMF atas pelaksanaan
Letter of Intent (LoI) menjadi barometer kredibilitas pemerintah, dan
seringkali menentukan fluktuasi nilai tukar rupiah. Pelbagai studi studi
empiris (seperti Bruno dan Easterly (1996), Drazen dan Easterly (1999)
memperlihatkan korelasi antara krisis dan implementasi reformasi ekonomi.
LoI yang ditandaatangani di masa Presiden
Soeharto berestafet pada pemerintahan Presiden BJ Habibie. Efek paling besar
dapat terlihat pada kinerja DPR yang menghasilkan 77 Undang-undang selama
kurang dari dua tahun pemerintahan Presiden Habibie. Apa ini normal sedangkan
rata-rata DPR hanya hasilkan belasan UU pertahunnya. Kenyataan menunjukkan
bahwa membuat Undang-Undang adalah hal yang rumit dan memakan waktu lama.
Keberadaan 77 UU dalam waktu 2 tahun kemudian
diketahui banyak yang merupakan adopsi dan bahkan translasi dari UU dari negara
lain. Termasuk di dalam kelompok tersebut adalah UU persaingan usaha, UU Bank
Indonesia, otonomi daerah, UU tentang peraturan kelistrikan, energi dan SDA di
Indonesia. Ini secara fundamental merubah struktur berbaai aspek di Indonesia.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana
dampak ke 77 UU tersebut terhadap struktur pemerintahan dan ekonomi di
Indonesia? Hal inilah yang kita rasakan hingga hari ini. 77 UU (Bank Sentral,
SDA, kelistrikan, tata kelola keuangan negara) instan tadi telah menajadi
payung puluhan UU lain setelahnya. Sehingga tanpa sadar kebijakan IMF yang
terbukti gagal kala itu menjadi landasan banyak tata kelola negara kita hinga
kini.
Maka tidak berlebihan bila kita menyebut ini
serupa kanker ekonomi. Dia terus menjalar menginveksi setiap sendi ekonomi.
Maka tidak lebih berlebihan jika kita khawatir lambatnya penurunan angka
kemiskinan di negara tercinta ini. Karena yang sedang kita nikmati adalah
ilusi. Ilusi reformasi.
Labels: ekonomi