Sunday, July 15, 2012

pecundang

kosong-luntur
Kemana harus pergi?
Dimana harus memulai?
Dulu kala hidup di asrama salah satu guru pernah bercerita tentang seorang psikolog yang malang. Awal cerita sangat indah, tentang jutaan orang sedih sayang sudah dibuatnya kembali tersenyum. Diapun barangkali sudah lupa ragam cerita pasien yang didengarnya, tapi yang pasti semua berujung pada tangis haru bahkan pelukan bahagia. Sampai suatu hari dia ditingal mati sang istri dan berhari-hari larut dalam kesedihan. Hingga sadar bahwa dia selama ini hanya tong kosong yang ramaikan suasana kota tapi hampa tanpa isi, nasehatnya tak mampu menyembuhkannya. Iapun mati dalam sedih.
Entahlah cerita itu benar atau tidak. Kalaupun itu semua bohong tapi kala itu setidaknya ruangan dibuat hening setelah berkali kelas terhenti karena disela oleh perbincangan bisik-bisik antar siswa.
Hari ini entah kenapa memori yang sudah lama itu kembali lagi. Tapi aku pahami ceritanya berbeda, dan barangkali juga bukan ini yang dimaksud Bu Rosita kala itu.
Aku sedari kecil dibesarkan ayah dengan cara yang keras. Sepertinya benar kata Ibu kalau beliau ingin cita-citanya aku bisa wujudkan. Sejak kecil dididik untuk terus menjadi “nomor satu”.
Aku sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah lebih banyak dari yang disuruh guru, ayah selalu bilang “kerjakan juga yang dihalaman selanjutnya!!”. Aku sudah terbiasa dengan nasehat ayah bahwa menjadi ketua kelas kala SD adalah penting untuk aku perjuangkan. Aku sudah terbiasa dibentak karena nilai jelek di sekolah. Aku sudah terbiasa makan tepat waktu, dan haram untuk berangkat sekolah tanpa sarapan. Aku sudah terbiasa dengan hari minggu di rumah untuk belajar tambahan. Dsb.
Tanpa ku sadari ini yang membentuk pribadiku hari ini. Seperti sepotong kalimat Paman Ben dalam film Spiderman, bahwa “Kamu hari ini adalah kumpulan perca masa lalumu”. Aku tak pernah menyesal dan tak akan.

Sejak SD aku sering mendapat pujian, tentang rambut ikalku, nilai raporku, peringkat kelas, masuk di sekolah faforit, menjadi ketua kelas, menjadi ketua BEM dan bahkan hingga sekarang sering aku dengar gemuruh tepuk tangan seselesai aku menutup sebuah sebutlah pidato dihadapan teman-teman kampusku.
Barangkali ada yang belum sempat ayah ajarkan padaku diusianya yang pendek, atau barangkali ini maksud dari kalimat terakhirnya sebelum tutup usia, “teruslah belajar, jaga mamamu”
Aku tak tahu cara mengalah..
Aku tak tahu cara mengatasi perasaan sebagai pecundang..
Aku tak pernah diajari apa yang harus kulakukan kala dibuang..
Aku benar-benar tidak tahu..
Hari ini aku sadar betul siapa aku. Dunia indah dulu hanya beralaskan kaca rapuh, dan kini sudah runtuh. Aku tak ingin salahkan siapapun untuk ini. Bukan salah ayah yang mendidik dan membuatku kini begini atau salah dia dan segala kisah yang menyadarkanku tentang ini. Aku saja yang hanya baru menemukannya, menemukan bahwa ketakutanku, manjaku dan kemunafikanku lebih besar dari semua pujian itu.
Aku sadar bahwa aku terlalu kuat berjuang untuk bahagia dan cara menikmatinya tanpa ingat setiap diri perlu juga untuk mengerti bahwa ada kalanya kalah dan terbuang. Semestinya aku juga tahu cara berjuang dari kesedihan yang menyelimuti itu semua.
Kemana saja aku selama ini?
Apa mungkin hanya lupa?
Untuk ayah yang aku yakin sekali sedang dipelukanNya, aku ingin sampaikan bahwa aku baru memahami nasehatmu. Untuk Ibu yang tadi subuh menangis mendengar kabar anakmu aku pinta maaf setulus hatiku. Sungguh aku menyayangimu dan tak pernah berkurang sedikitpun.
Aku sadar bahwa tak ada guna membesar-besarkan gemuruh tepuk tangan selama ini. Tak ada arti menyimpan segala puji bila jadinya lupa diri. Aku sadar selama ini aku hidup di diri yang aku sendiri tak kenali. Aku bahkan tak tahu sepenuhnya tentang seutuh jwa dan ruh yang selama ini aku miliki.
Aku hanya seorang penakut.
seorang pecundang yang lupa cara malu.

Kini kemana aku harus pergi?
Dimana harus memulai?

larut malam bersama kejujuran
untuk pecundang yang baru berkenalan dengan dirinya
terimakasih sedih. 15-07-12.
***


Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home