Sunday, July 22, 2012

dimana?



Pernah tidak kamu bertanya dalam hati, "mana diriku"?

Atau lebih sederhananya pernah tidak sekelebat hadir pikrian di benak tentang untuk apa sebenarnya kita hidup? tulisan ini bermula dari sapaan kawan lama yang sudah mulai bekerja di salah satu bank swasta.


Dia bilang “Bro, capek juga ternyata lama-lama begini, keliatannya saja keren dan mertua bangga tapi hati ane kosong Bro, piye ki Bro?”

Entahlah maksud dari yang disampaikannya itu sama dengan ribuan pertanyaan yang sering diam-diam masuk ditengah lamunanku. Betapa banyak manusia zaman kini yang lebih menuhankan materi, lebih buruknya lagi dia gunakan patokan ini menilai sesamanya. Seperti lupa kalau hidup berujung mati. Bukan dalam maksud menggurui karena memang tidak pantas diri ini. Tapi coba tanyakan ke hati sendiri-sendiri.

baca selengkapnya »

Labels:

Saturday, July 21, 2012

ramadhan

Akhirnya berjumpa lagi dengan bulan suci ini. Bulan yang setiap orang punya perasaan sendiri-sendiri menyambutnya. Sebahagian bahagia karena sadar akan ada banyak berkah di dalamnya, barangkali ini yang dirasakan para ustadz, kiayi dan sebagian kecil umat. Sebagian lagi berat hati karena harus banyak menahan diri setidaknya untuk kenikmatan makan dan minum di siang hari. Dan sebahagian lagi yaitu yang merasa bahagia kedatangan ramadhan tapi tidak benar-benar sepenuh hati, tapi tidak pula berat hati.
Tentang yang ketiga tadi, saya salah satu diantaranya. apa mau dikata begitu adanya. Semoga kamu adalah termasuk golongan yang pertama. Namun yang lebih penting dari itu barangkali kita semua satu harapan, Berharap semoga bulan suci ini mensucikan. Kemudian nanti saat syawal mengganti ramadhan ada rindu yang tak dibuat-buat. Hadir sedih karena perpisahan, sedih yang sebenar-benarnya.

***

Aku ingat dulu kala masih sekolah di Tsanawiah dan di Asrama SMA, Ramadhan adalah bulan yang sangat dirindukan. Bangun sahur dan melanjutkan dengan mengaji hingga pagi adalah rutinitas biasa. Shalat hampir tidak pernah tidak berjamaah lengkap dengan yang sunnah. Alma’ surat menjadi teman karib menunggu bedug Magrib berlanjut sampai tarawih berjamaah mencicipi semua masjid di kawasan sekitar rumah. Lalu kemana dia sekarang?

Aku masih muslim, tidak murtad apalagi hilang yakin akan keberadaan Tuhan. Shalat lima waktu terus aku dirikan, sesekali  berpuasa di Senin dan Kamis. Tapi terasa ada yang hilang, entah apa, sampai detik ini akupun belum tahu..

Kemudian aku bertanya, bukankah dibanding dulu itu sudah banyak lagi setelahnya aku belajar. Belajar agama dan hal lain tentang dunia yang tentu sedikit banyak menyinggung perkara keyakinan. Atau salah yang aku sedang pelajari dan aku nikmati belakangan ini? Sepertinya tidak...Atau memang begini jalan mencari ilmu, berliku-berpaku-kadang seperti buntu? Barangkali iya..
Awal ramadhan ini aku ingin menjumpai itu lagi, ingin menjemput lagi rasa rindu yang tak dibuat-buat, ingin menikmati lagi rasa khidmat itu. Ingin sekali.

Kini, Biarlah tersesat ini menjadi tanda bahwa aku sedang berjalan, dan tentu untuk keluar darinya satu-satunya yang harus aku lakukan adalah terus berjalan. Menemukan.
Ilmu selalu membukakan cahaya. Tapi, di setiap ujung langkah, kegelapan mencegatnya. Barangkali itulah yang memungkinkan perjuangan menjelajahi arasy ilmu dijanjikan akan mengantarkan kita ke keabadian. Sebut: tuhan.

Pintaku dalam doa ramadhan kali ini..
Allah lembutkanlah hati ini untuk mau menerima ilmu tentang kebaikan..
Lembutkanlah hati ini untuk merasa dekat dengan kematian..
Karena hari ini aku bingung dengan apa sebenarnya kematian dan apa sesungguhnya kehidupan. Kehidupan ini makin jelas dengan ketidak jelasannya dan ketidakjelasannya sangat jelas. Barangkali benar apa yang tertulis di salah satu lukisan di pameran seni Jogja “ Saksikanlah, kematian bertebaran dalam kehidupan.”

Hari ini kematian hampir tidak diketahui oleh mereka yang menyangka tinggal dalam kehidupan. Kematian memang tak terlihat. Ini yang aku rasakan kini, banyak orang bersorak-sorai di lantai pesta kematian yakni kehidupan. Merayakan kematian dengan nyanyian-nyanyian pesta.

Orang mencemaskan kematian yakni kehidupan. Bahkan mereka siap membayar penghindarannya dengan biaya yang muskil, dengan ilmu dan pembangunan kekayaan yang memperanakkan penindasan dan pembunuhan akan kehidupan.
Entahlah..
Sebut saja ini celotehan orang bodoh yang sedang tersesat..
Gigauan manusia bodoh yang tak patut di pedomani..
Ramadhan, aku merindukan khidmadmu di kehidupanku-kematianku..


Dalam sejuk subuh selepas subuh
1 Ramadhan 1433 H



Labels:

Sunday, July 15, 2012

pecundang

kosong-luntur
Kemana harus pergi?
Dimana harus memulai?
Dulu kala hidup di asrama salah satu guru pernah bercerita tentang seorang psikolog yang malang. Awal cerita sangat indah, tentang jutaan orang sedih sayang sudah dibuatnya kembali tersenyum. Diapun barangkali sudah lupa ragam cerita pasien yang didengarnya, tapi yang pasti semua berujung pada tangis haru bahkan pelukan bahagia. Sampai suatu hari dia ditingal mati sang istri dan berhari-hari larut dalam kesedihan. Hingga sadar bahwa dia selama ini hanya tong kosong yang ramaikan suasana kota tapi hampa tanpa isi, nasehatnya tak mampu menyembuhkannya. Iapun mati dalam sedih.
Entahlah cerita itu benar atau tidak. Kalaupun itu semua bohong tapi kala itu setidaknya ruangan dibuat hening setelah berkali kelas terhenti karena disela oleh perbincangan bisik-bisik antar siswa.
Hari ini entah kenapa memori yang sudah lama itu kembali lagi. Tapi aku pahami ceritanya berbeda, dan barangkali juga bukan ini yang dimaksud Bu Rosita kala itu.
Aku sedari kecil dibesarkan ayah dengan cara yang keras. Sepertinya benar kata Ibu kalau beliau ingin cita-citanya aku bisa wujudkan. Sejak kecil dididik untuk terus menjadi “nomor satu”.
Aku sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah lebih banyak dari yang disuruh guru, ayah selalu bilang “kerjakan juga yang dihalaman selanjutnya!!”. Aku sudah terbiasa dengan nasehat ayah bahwa menjadi ketua kelas kala SD adalah penting untuk aku perjuangkan. Aku sudah terbiasa dibentak karena nilai jelek di sekolah. Aku sudah terbiasa makan tepat waktu, dan haram untuk berangkat sekolah tanpa sarapan. Aku sudah terbiasa dengan hari minggu di rumah untuk belajar tambahan. Dsb.
Tanpa ku sadari ini yang membentuk pribadiku hari ini. Seperti sepotong kalimat Paman Ben dalam film Spiderman, bahwa “Kamu hari ini adalah kumpulan perca masa lalumu”. Aku tak pernah menyesal dan tak akan.

Sejak SD aku sering mendapat pujian, tentang rambut ikalku, nilai raporku, peringkat kelas, masuk di sekolah faforit, menjadi ketua kelas, menjadi ketua BEM dan bahkan hingga sekarang sering aku dengar gemuruh tepuk tangan seselesai aku menutup sebuah sebutlah pidato dihadapan teman-teman kampusku.
Barangkali ada yang belum sempat ayah ajarkan padaku diusianya yang pendek, atau barangkali ini maksud dari kalimat terakhirnya sebelum tutup usia, “teruslah belajar, jaga mamamu”
Aku tak tahu cara mengalah..
Aku tak tahu cara mengatasi perasaan sebagai pecundang..
Aku tak pernah diajari apa yang harus kulakukan kala dibuang..
Aku benar-benar tidak tahu..
Hari ini aku sadar betul siapa aku. Dunia indah dulu hanya beralaskan kaca rapuh, dan kini sudah runtuh. Aku tak ingin salahkan siapapun untuk ini. Bukan salah ayah yang mendidik dan membuatku kini begini atau salah dia dan segala kisah yang menyadarkanku tentang ini. Aku saja yang hanya baru menemukannya, menemukan bahwa ketakutanku, manjaku dan kemunafikanku lebih besar dari semua pujian itu.
Aku sadar bahwa aku terlalu kuat berjuang untuk bahagia dan cara menikmatinya tanpa ingat setiap diri perlu juga untuk mengerti bahwa ada kalanya kalah dan terbuang. Semestinya aku juga tahu cara berjuang dari kesedihan yang menyelimuti itu semua.
Kemana saja aku selama ini?
Apa mungkin hanya lupa?
Untuk ayah yang aku yakin sekali sedang dipelukanNya, aku ingin sampaikan bahwa aku baru memahami nasehatmu. Untuk Ibu yang tadi subuh menangis mendengar kabar anakmu aku pinta maaf setulus hatiku. Sungguh aku menyayangimu dan tak pernah berkurang sedikitpun.
Aku sadar bahwa tak ada guna membesar-besarkan gemuruh tepuk tangan selama ini. Tak ada arti menyimpan segala puji bila jadinya lupa diri. Aku sadar selama ini aku hidup di diri yang aku sendiri tak kenali. Aku bahkan tak tahu sepenuhnya tentang seutuh jwa dan ruh yang selama ini aku miliki.
Aku hanya seorang penakut.
seorang pecundang yang lupa cara malu.

Kini kemana aku harus pergi?
Dimana harus memulai?

larut malam bersama kejujuran
untuk pecundang yang baru berkenalan dengan dirinya
terimakasih sedih. 15-07-12.
***


Labels: