Sunday, September 20, 2020

Konflik Kepentingan Stafsus Milenial [Podcast]

ngobrolin isu konflik kepentingan para staf khusus milenial bersama Rahmia Hasniasari




Labels:

Bedah Isi Dapur Kartu Prakerja [Podcast]

 ngobrol santai bersama Mas Aulia Rachman Alfahmi membahas mengenai Kartu Prakerja.



    Bedah Isi Dapur Kartu Prakerja


Labels:

Quick strategies needed to shift dependency on China

 Since the beginning of the year, the world has been shocked by the spread of the novel coronavirus, which started in Wuhan, China, and has spread to many parts of the globe.  The  World Health Organization has declared an international emergency in regard to the epidemic, which it has now named COVID-19. As of Feb. 14, China alone reported nearly 60,000 confirmed cases and a death toll of over 1,350 people. In this global era, the total trade between countries and the intersection of the value chain becomes a determinant of the relationship between one country and another. Of course, many ask, how big is the estimated impact on the Indonesian economy and what can we do?     China is Indonesia's largest trading partner, our second-largest supplier, and third-largest foreign investor. These three indicators should be more than enough for us to be vigilant and immediately anticipate further adverse impacts.

Following the spread of the virus, the World Bank revised down its forecast for world economic growth, initially estimated at 2.5 percent this year. In 2019, China grew by 6.1 percent, lower than its target of 6.6 percent. China’s growth is projected to hover around 5 percent in 2020, after the spread of the coronavirus. The virus has so far spread to over 23 other countries. The impact of the virus on the economy will be massive, as a result of the linkages between the economy of China and other countries, through the global value chain. There are several linkages that we need to be aware of – the trade of goods, migration of people and investment.   The first linkage is a trade that will be affected by the weakening of the Chinese economy. Since 2013, China has replaced Japan as Indonesia's largest trading partner. China accounts for 24 percent of Indonesia's total trade. In the first nine months of 2019, Indonesia's trade with China totaled US$52.39 billion, consisting of $19.81 billion in exports and $32.58 billion in imports. This was down by a range of 1-2 percent from 2018, due to the impact of the United States-China trade war. Indonesia's exports to China consist mainly of lignite, coal briquettes, palm oil, sulfate chemical wood pulp and ferroalloys. These are raw materials that are in demand in China, as they are vital for the manufacturing sector. For example, IHS Markit estimated a loss of at least 350,000 units of car production as of Feb. 10, as manufacturing plants were temporarily closed. If the plants remain closed until mid-March, the loss of production would reach more than 1.7 million units. This is just an example of how the virus would impact Indonesian exports to China.

Furthermore, imports from China include electronics, machinery, steel, plastic and organic chemistry. Such goods may not be directly affected by the epidemic, however, for example, an Indonesian policy to stop garlic imports from China would directly increase garlic prices in our country. The second linkage is people migration. Since Feb. 5, Indonesia’s government has closed all flights to and from China. We are beginning to feel the adverse impact on tourism and the travel industry. Last year, tourist arrivals from China totaled 2.7 million or 17 percent of total tourist arrivals in the country. As Chinese tourists spend $965 per visit on average, we can imagine how massive its impact on the economy as a whole would be. The third linkage is through investment. Even though the virus has not yet caused any cancelation of Chinese investment projects, the virus would delay project implementation due to the problems in the flow of goods and people (workers). Moreover, China, as the world’s second-largest economy, has become the world’s factory, producing numerous parts and components of industrial goods for global supply chains. Even though no one can yet predict how long the coronavirus spread will continue, the Indonesian government should act immediately to diversify its export and import markets. The government should make concerted efforts to reduce the country’s heavy dependence on China’s markets, tourists and investments. Given the multiplier impact of tourism, from airlines to hotels and souvenir shops, special contingency measures should be taken to help major tourist destinations, such as Bali and North Sulawesi, which depend mainly on China.


*This article was published in thejakartapost.com with the title "Quick strategies needed to shift dependency on China". Click to read: https://www.thejakartapost.com/academia/2020/02/14/quick-strategies-needed-to-shift-dependency-on-china.html.

Miopi "Bom Waktu" Bantuan Pangan

 Sebuah tulisan sebagai tanggapan atas opini yang dimuat KOMPAS edisi 14 Februari 2020

Minggu malam kita baru saja dikejutkan dengan pesta paling akbar perfilman dunia, Academy Award, untuk kali pertama wajah Asia mendapat penghargaan tertinggi “best picture” lewat film berjudul Parasite. Sebuah film yang berpesan tentang pentingnya mutualisme dalam membangun sebuah ekosistem. Pesan ini menarik sekaligus relevan dengan artikel Kompas 10 Februari 2020 berjudul “Bom Waktu Bantuan Pangan” yang menurut penulis artikel tersebut belum melihat secara komprehensif transformasi kebijakan bantuan pangan. Semangat perbaikan dan simbiosis mutualisme antar pihak menjadi pisau analisisnya.Pertama, hanya sisi supply yang menjadi fokus artikel tersebut, di mana pembahasan Bulog yang tidak lagi menjadi penyalur beras untuk Program Bantuan Pangan berdampak pada kesimpulan melemahnya peran Bulog dalam menjaga stabilitas harga dan menumpuknya beras di beberapa gudang penyimpanan. Perubahan skema menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ini dianggap mengusik pangsa pasar yang selama ini secara pasti menjadi captive market Bulog. Keduanya berkaitan karena 25% cakupan penerima manfaat BPNT menjadi bagian dari target stabilitas harga pangan secara nasional. Namun, satu hal yang perlu diperjelas sejak awal:

kebijakan stabilitas harga beras oleh Bulog adan BPNT oleh kementerian Sosial adalah dua kebijakan yang terpisah.

Sejak 2017 hingga saat ini Bulog selalu menjadi bagian dari stakeholder yang terlibat dalam pembahasan. Bulog terinformasi sejak awal daerah mana saja yang secara bertahap akan bertransformasi menjadi BPNT Sehingga semestinya Bulog dapat memetakan lebih baik kebutuhan pasar untuk menyesuaikan total pasokan yang dibutuhkan serta jumlah yang dikelola di gudang. Bahkan, perubahan dari skema natura menjadi BPNT ini membuat Bulog bisa fokus pada daerah-daerah khusus.Lebih jauh, ada baiknya menengok sebentar ke skema awal bantuan secara natura. Dalam skema tersebut, Bulog menjadi satu-satunya pemasok beras yang disalurkan ke titik distribusi dan dilanjutkan ke titik pembagian. Dalam skema ini, tingkat inefisiensi yang ditimbulkan dari beban biaya transportasi beras sangat besar yang tentu berdampak pada penurunan kualitas beras yang disalurkan. Maka, tidak jarang kita mendengar keluhan tentang beras yang terdistribusi tidak tepat waktu dan berkualitas rendah.

Di sisi lain, berdasarkan data tahun 2018, dari total 514 Kabupaten/Kota se-Indonesia, 250 di antaranya adalah wilayah yang surplus beras. Artinya, daerah ini akan jauh lebih optimal bila memanfaatkan pasokan beras dari wilayahnya masing-masing. Selain efisien secara biaya transportasi, kualitas yang ditawarkan akan jauh lebih baik dibanding dengan beras yang sudah menempuh ribuan kilometer, bahkan bermalam menyebrangi pulau.Kedua, sisi demand para penerima manfaat juga patut diperhatikan. Perubahan paling mendasar dari transformasi secara natura menjadi BPNT adalah keleluasan memilih jenis dan jumlah kombinasi beras dan minyak yang dikonsumsi dari Rp110.000 yang diterima per bulannya. Beberapa hal menarik yang muncul, pertama beneficiaries tidak langsung mengkonsumsi di tanggal ketika subsidi disalurkan. Hal tersebut memungkinkan adanya ruang pengelolaan keuangan  bagi setiap penerima BPNT. Kedua, terdapat pilihan untuk memilih jenis beras atau minyak yang mereka beli yang ternyata tidak selalu jenis beras termurah. Fakta tersebut merupakan penjelasan mengapa selama ini penerim manfaat sering kali tidak mau menerima beras yang disalurkan oleh Bulog.

Ketiga, terdapat aspek sosial kemasyarakatan yang perlu diperhatikan pada skema penyaluran bantuan pangan yang sudah lebih dari 20 tahun berjalan ini.  Mulai dari dampak efek hubungan tak sejajar atau patron-client yang secara sederhana tergambar dalam besarnya pengaruh kepala desa sebagai titik terakhir simpul program ini. Pada sebagian wilayah muncul kesan bahwa pemilik bantuan adalah kepala desa yang kemudian berdampak pada aspek sosial yang bermuara pada efek politik dalam pemilihan pemimpin daerah. Selain itu, efek ‘heboh’ atau demonstration effect yang dimunculkan dari proses di hari pembagian juga berdampak pada kecemburuan sosial di beberapa daerah. Tipisnya perbedaaan kondisi ekonomi antara penerima dengan yang bukan penerima membuat interaksi sosial masyarakat jadi terganggu. Dampak tersebut dapat diminimalisasi dengan adanya skema non tunai di mana subsidi langsung disalurkan ke rekening masing-masing penerima manfaat. Belum lagi, potensi peningkatan inklusi keuangan yang paralel dengan mulai meningkatnya kepemilikan akun bank pada kelompok 25% pendapatan terendah di Indonesia. Sebagai bonus, data yang tercatat dari BPNT dimanfaatkan untuk program lebih lanjut di masa mendatang.

Kembali ke khittoh program

Transformasi dari Raskin sebagai antisipasi kerawanan pangan pada tahun 1998, menjadi Rastra, dan kini menjadi BPNT bukan tanpa sebab. Setiap prosesnya merupakan sejarah bagaimana satu persatu titik lemah program terus diperbaiki. Mulai dari ketepatan sasaran dengan skema basis data terpadu by name by addres, peningkatan tepat kualitas produk dan durasi disribusi, serta administrasi penyaluran – yang kini otomatis terkirim ke rekening penerima setiap tanggal 25 tiap bulannya. Hal ini adalah amanat yang diberikan oleh Presiden sebagai salah satu program prioritasnya yang tentu perlu menjadi kompas seluruh stakeholder yang terlibat.

Tercatat sejak reformasi, siapapun presidennya program yang tidak akan hilang adalah bantuan pangan ini. Alasannya jelas, bahwa 65% dari garis kemiskinan di Indoensia ditentukan oleh faktor makanan, di mana beras menyumbang lebih dari seperempat porsi tersebut. Sehingga, tidak salah bila menyebut ini adalah kebijakan vital dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan. Tentu agar optimal setiap pihak penting untuk berkolaborasi seperti seperti pesan yang disampaikan film Parasite yang membuat untuk pertama kali film Asia memenangkan Piala Oscar setelah puluhan tahun lamanya, tidak tanggung-tanggung empat kategori sekaligus.

*Tulisan ini dimuat di Senayan-Post edisi 15 Februari 2020.