Saturday, June 02, 2012

Ilusi



Sebuah catatan 14 tahun reformasi

Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah dilakukan sejak negara ini berpredikat merdeka. Meskipun demikian jumlah orang miskin di Indonesia cenderung masih besar. Dewasa ini masalah penanggulangan kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari perubahan struktural yang terjadi pasca reformasi. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana dampak perubahan struktural yang terjadi pada saat reformasi dan kaitannya akan kinerja program penanggulangan kemiskinan?

reformasi tak tepat waktu
Yang dihadapi Indonesia pasca reformasi adalah perubahan struktur pemerintahan, politik dan ekonomi. Di era Orde Baru, sistem pemerintahannya adalah otoritarian. Hubungan trias politica sepenuhnya didominasi oleh birokrat, diikuti oleh yudikatif dan terakhir legislatif. Peran legislatif tidak lebih sebagai alat legitimasi kebijakan pemerintah dan ‘alat pelengkap’ demokrasi semata. Kala itu, sistem pemerintahan mengikuti pendekatan top down. Tidak mengherankan ketika itu jika posisi seorang Menteri Koordinator (Menko) adalah sangat kuat dan mampu mengkoordinasikan departemen-departemen teknis di bawahnya. Sistem pemerintahan juga cenderung sentralistis, di mana Jakarta merupakan pusat dari segala pengambilan keputusan dan aktivitas politik maupun ekonomi.
Krisis ekonomi memaksa negeri ini untuk melakukan reformasi menggulingkan rezim Orde Baru. Reformasi terjadi pada dua sisi sekaligus, ekonomi dan politik.
Ketika negara dalam kondisi darurat, akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, sistem pemerintahan yang ideal mengatasi masalah krisis seperti itu idealnya adalah pemerintahan otoritarian. Namun pada saat reformasi, krisis ekonomi justru diikuti oleh peralihan dari pemerintahan otoritarian menuju pemerintahan demokratis yang cenderung terlalu egaliter. Tidaklah mengherankan jika krisis ekonomi di Indonesia berkepanjangan, lebih panjang dari negara-negara tetangga, misalnya Malaysia, Thailand dan Korea Selatan, karena sistem pengambilan keputusan yang idealnya dilakukan cepat kala itu, atas nama demokrasi, dilakukan dengan cara yang berbelit.

Sejarah di dunia menunjukkan bahwa demokrasi lebih tepat berlaku pada saat kondisi negara tidak dalam krisis. Di masa krisis, atau di masa perang, negara-negara paling demokratis di dunia-pun menerapkan undang-undang darurat, yang berarti bahwa bentuk pemerintahan saat itu adalah otoritarian.

Induk masalah pasca reformasi
Adalah IMF masuk ke Indonesia atas undangan Suharto pada pertengahan September 1997. Undangan pada diajukan dengan asumsi bahwa krisis hanya bersifat sementara, sehingga bantuan IMF hanya untuk berjaga-jaga (precautionary) terhadap kemungkinan berlanjutnya spekulasi terhadap rupiah.

Ketika kemudian tidak ada tanda-tanda bahwa spekulasi terhadap mata uang Asia akan berlalu, pemerintah akhirnya memutuskan untuk ikut dalam Program IMF pada November 1997. Perpecahan antara IMF dan Suharto segera terjadi menyusul penutupan 16 bank, dua di antaranya adalah milik keluarga dekat Suharto, dan pembatalan proyek-proyek publik besar, yang juga melibatkan keluarga Suharto. Serentetan kebijakan ‘perlawanan’ yang diambil Suharto kemudian untuk mempertahankan kepentingan keluarganya ini merusak kredibilitas pengelolaan ekonomi Indonesia.

Konflik antara IMF dan Suharto baru berakhir ketika kabinet baru yang berisi orang-orang kepercayaan Suharto meyakinkannya bahwa Program IMF sebagai satu-satunya pilihan kebijakan untuk keluar dari krisis pada Maret 1998. Sejak saat itu, peran IMF mengelola ekonomi Indonesia diterima secara de facto, baik oleh pelaku ekonomi dalam dan luar negeri, maupun oleh para politisi.

IMF terlibat dalam proses perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan. Hasil evaluasi IMF atas pelaksanaan Letter of Intent (LoI) menjadi barometer kredibilitas pemerintah, dan seringkali menentukan fluktuasi nilai tukar rupiah. Pelbagai studi studi empiris (seperti Bruno dan Easterly (1996), Drazen dan Easterly (1999) memperlihatkan korelasi antara krisis dan implementasi reformasi ekonomi.

LoI yang ditandaatangani di masa Presiden Soeharto berestafet pada pemerintahan Presiden BJ Habibie. Efek paling besar dapat terlihat pada kinerja DPR yang menghasilkan 77 Undang-undang selama kurang dari dua tahun pemerintahan Presiden Habibie. Apa ini normal sedangkan rata-rata DPR hanya hasilkan belasan UU pertahunnya. Kenyataan menunjukkan bahwa membuat Undang-Undang adalah hal yang rumit dan memakan waktu lama.

Keberadaan 77 UU dalam waktu 2 tahun kemudian diketahui banyak yang merupakan adopsi dan bahkan translasi dari UU dari negara lain. Termasuk di dalam kelompok tersebut adalah UU persaingan usaha, UU Bank Indonesia, otonomi daerah, UU tentang peraturan kelistrikan, energi dan SDA di Indonesia. Ini secara fundamental merubah struktur berbaai aspek di Indonesia.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana dampak ke 77 UU tersebut terhadap struktur pemerintahan dan ekonomi di Indonesia? Hal inilah yang kita rasakan hingga hari ini. 77 UU (Bank Sentral, SDA, kelistrikan, tata kelola keuangan negara) instan tadi telah menajadi payung puluhan UU lain setelahnya. Sehingga tanpa sadar kebijakan IMF yang terbukti gagal kala itu menjadi landasan banyak tata kelola negara kita hinga kini.

Maka tidak berlebihan bila kita menyebut ini serupa kanker ekonomi. Dia terus menjalar menginveksi setiap sendi ekonomi. Maka tidak lebih berlebihan jika kita khawatir lambatnya penurunan angka kemiskinan di negara tercinta ini. Karena yang sedang kita nikmati adalah ilusi. Ilusi reformasi.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home