Miopi "Bom Waktu" Bantuan Pangan
Sebuah tulisan sebagai tanggapan atas opini yang dimuat KOMPAS edisi 14 Februari 2020
Minggu malam kita baru saja dikejutkan dengan
pesta paling akbar perfilman dunia, Academy Award, untuk kali pertama wajah
Asia mendapat penghargaan tertinggi “best picture” lewat film berjudul
Parasite. Sebuah film yang berpesan tentang pentingnya mutualisme dalam
membangun sebuah ekosistem. Pesan ini menarik sekaligus relevan dengan artikel
Kompas 10 Februari 2020 berjudul “Bom Waktu Bantuan Pangan” yang menurut
penulis artikel tersebut belum melihat secara komprehensif transformasi
kebijakan bantuan pangan. Semangat perbaikan dan simbiosis mutualisme antar
pihak menjadi pisau analisisnya.Pertama, hanya sisi supply yang menjadi fokus
artikel tersebut, di mana pembahasan Bulog yang tidak lagi menjadi penyalur
beras untuk Program Bantuan Pangan berdampak pada kesimpulan melemahnya peran
Bulog dalam menjaga stabilitas harga dan menumpuknya beras di beberapa gudang
penyimpanan. Perubahan skema menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ini
dianggap mengusik pangsa pasar yang selama ini secara pasti menjadi captive market
Bulog. Keduanya berkaitan karena 25% cakupan penerima manfaat BPNT menjadi
bagian dari target stabilitas harga pangan secara nasional. Namun, satu hal
yang perlu diperjelas sejak awal:
kebijakan stabilitas harga beras oleh Bulog
adan BPNT oleh kementerian Sosial adalah dua kebijakan yang terpisah.
Di sisi lain, berdasarkan data tahun 2018,
dari total 514 Kabupaten/Kota se-Indonesia, 250 di antaranya adalah wilayah
yang surplus beras. Artinya, daerah ini akan jauh lebih optimal bila memanfaatkan
pasokan beras dari wilayahnya masing-masing. Selain efisien secara biaya
transportasi, kualitas yang ditawarkan akan jauh lebih baik dibanding dengan
beras yang sudah menempuh ribuan kilometer, bahkan bermalam menyebrangi
pulau.Kedua, sisi demand para penerima manfaat juga patut diperhatikan.
Perubahan paling mendasar dari transformasi secara natura menjadi BPNT adalah
keleluasan memilih jenis dan jumlah kombinasi beras dan minyak yang dikonsumsi
dari Rp110.000 yang diterima per bulannya. Beberapa hal menarik yang muncul,
pertama beneficiaries tidak langsung mengkonsumsi di tanggal ketika subsidi
disalurkan. Hal tersebut memungkinkan adanya ruang pengelolaan keuangan bagi setiap penerima BPNT. Kedua, terdapat
pilihan untuk memilih jenis beras atau minyak yang mereka beli yang ternyata
tidak selalu jenis beras termurah. Fakta tersebut merupakan penjelasan mengapa
selama ini penerim manfaat sering kali tidak mau menerima beras yang disalurkan
oleh Bulog.
Ketiga, terdapat aspek sosial kemasyarakatan
yang perlu diperhatikan pada skema penyaluran bantuan pangan yang sudah lebih
dari 20 tahun berjalan ini. Mulai dari
dampak efek hubungan tak sejajar atau patron-client yang secara sederhana
tergambar dalam besarnya pengaruh kepala desa sebagai titik terakhir simpul
program ini. Pada sebagian wilayah muncul kesan bahwa pemilik bantuan adalah
kepala desa yang kemudian berdampak pada aspek sosial yang bermuara pada efek
politik dalam pemilihan pemimpin daerah. Selain itu, efek ‘heboh’ atau
demonstration effect yang dimunculkan dari proses di hari pembagian juga
berdampak pada kecemburuan sosial di beberapa daerah. Tipisnya perbedaaan
kondisi ekonomi antara penerima dengan yang bukan penerima membuat interaksi
sosial masyarakat jadi terganggu. Dampak tersebut dapat diminimalisasi dengan
adanya skema non tunai di mana subsidi langsung disalurkan ke rekening
masing-masing penerima manfaat. Belum lagi, potensi peningkatan inklusi
keuangan yang paralel dengan mulai meningkatnya kepemilikan akun bank pada
kelompok 25% pendapatan terendah di Indonesia. Sebagai bonus, data yang
tercatat dari BPNT dimanfaatkan untuk program lebih lanjut di masa mendatang.
Kembali ke khittoh program
Transformasi dari Raskin sebagai antisipasi
kerawanan pangan pada tahun 1998, menjadi Rastra, dan kini menjadi BPNT bukan
tanpa sebab. Setiap prosesnya merupakan sejarah bagaimana satu persatu titik
lemah program terus diperbaiki. Mulai dari ketepatan sasaran dengan skema basis
data terpadu by name by addres, peningkatan tepat kualitas produk dan durasi
disribusi, serta administrasi penyaluran – yang kini otomatis terkirim ke
rekening penerima setiap tanggal 25 tiap bulannya. Hal ini adalah amanat yang
diberikan oleh Presiden sebagai salah satu program prioritasnya yang tentu
perlu menjadi kompas seluruh stakeholder yang terlibat.
Tercatat sejak reformasi, siapapun presidennya
program yang tidak akan hilang adalah bantuan pangan ini. Alasannya jelas,
bahwa 65% dari garis kemiskinan di Indoensia ditentukan oleh faktor makanan, di
mana beras menyumbang lebih dari seperempat porsi tersebut. Sehingga, tidak
salah bila menyebut ini adalah kebijakan vital dalam upaya percepatan
penanggulangan kemiskinan. Tentu agar optimal setiap pihak penting untuk
berkolaborasi seperti seperti pesan yang disampaikan film Parasite yang membuat
untuk pertama kali film Asia memenangkan Piala Oscar setelah puluhan tahun
lamanya, tidak tanggung-tanggung empat kategori sekaligus.
*Tulisan ini dimuat di Senayan-Post edisi 15 Februari 2020.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home