 |
kosong-luntur |
Kemana harus pergi?
Dimana harus memulai?
Dulu kala hidup di asrama salah
satu guru pernah bercerita tentang seorang psikolog yang malang. Awal cerita
sangat indah, tentang jutaan orang sedih sayang sudah dibuatnya kembali
tersenyum. Diapun barangkali sudah lupa ragam cerita pasien yang didengarnya, tapi
yang pasti semua berujung pada tangis haru bahkan pelukan bahagia. Sampai suatu
hari dia ditingal mati sang istri dan berhari-hari larut dalam kesedihan. Hingga
sadar bahwa dia selama ini hanya tong kosong yang ramaikan suasana kota tapi
hampa tanpa isi, nasehatnya tak mampu menyembuhkannya. Iapun mati dalam sedih.
Entahlah cerita itu benar atau
tidak. Kalaupun itu semua bohong tapi kala itu setidaknya ruangan dibuat hening
setelah berkali kelas terhenti karena disela oleh perbincangan bisik-bisik
antar siswa.
Hari ini entah kenapa memori yang
sudah lama itu kembali lagi. Tapi aku pahami ceritanya berbeda, dan
barangkali juga bukan ini yang dimaksud Bu Rosita kala itu.
Aku sedari kecil dibesarkan ayah
dengan cara yang keras. Sepertinya benar kata Ibu kalau beliau ingin
cita-citanya aku bisa wujudkan. Sejak kecil dididik untuk terus menjadi “nomor
satu”.
Aku sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah
lebih banyak dari yang disuruh guru, ayah selalu bilang “kerjakan juga yang
dihalaman selanjutnya!!”. Aku sudah terbiasa dengan nasehat ayah bahwa menjadi
ketua kelas kala SD adalah penting untuk aku perjuangkan. Aku sudah terbiasa
dibentak karena nilai jelek di sekolah. Aku sudah terbiasa makan tepat waktu,
dan haram untuk berangkat sekolah tanpa sarapan. Aku sudah terbiasa dengan hari
minggu di rumah untuk belajar tambahan. Dsb.
Tanpa ku sadari ini yang
membentuk pribadiku hari ini. Seperti sepotong kalimat Paman Ben dalam film
Spiderman, bahwa “Kamu hari ini adalah kumpulan perca masa lalumu”. Aku tak
pernah menyesal dan tak akan.
Sejak SD aku sering mendapat pujian,
tentang rambut ikalku, nilai raporku, peringkat kelas, masuk di sekolah
faforit, menjadi ketua kelas, menjadi ketua BEM dan bahkan
hingga sekarang sering aku dengar gemuruh tepuk tangan seselesai aku menutup
sebuah sebutlah pidato dihadapan teman-teman kampusku.
Barangkali ada yang belum sempat
ayah ajarkan padaku diusianya yang pendek, atau barangkali ini maksud dari
kalimat terakhirnya sebelum tutup usia, “teruslah belajar, jaga mamamu”
Aku tak tahu cara mengalah..
Aku tak tahu cara mengatasi
perasaan sebagai pecundang..
Aku tak pernah diajari apa yang
harus kulakukan kala dibuang..
Aku benar-benar tidak tahu..
Hari ini aku sadar betul siapa
aku. Dunia indah dulu hanya beralaskan kaca rapuh, dan kini sudah runtuh. Aku tak
ingin salahkan siapapun untuk ini. Bukan salah ayah yang mendidik dan membuatku
kini begini atau salah dia dan segala kisah yang menyadarkanku tentang ini. Aku saja yang hanya
baru menemukannya, menemukan bahwa ketakutanku, manjaku dan kemunafikanku lebih
besar dari semua pujian itu.
Aku sadar bahwa aku terlalu kuat
berjuang untuk bahagia dan cara menikmatinya tanpa ingat setiap diri perlu juga
untuk mengerti bahwa ada kalanya kalah dan terbuang. Semestinya aku juga tahu
cara berjuang dari kesedihan yang menyelimuti itu semua.
Kemana saja aku selama ini?
Apa mungkin hanya lupa?
Untuk ayah yang aku yakin sekali
sedang dipelukanNya, aku ingin sampaikan bahwa aku baru memahami nasehatmu. Untuk
Ibu yang tadi subuh menangis mendengar kabar anakmu aku pinta maaf setulus
hatiku. Sungguh aku menyayangimu dan tak pernah berkurang sedikitpun.
Aku sadar bahwa tak ada guna membesar-besarkan
gemuruh tepuk tangan selama ini. Tak ada arti menyimpan segala puji bila
jadinya lupa diri. Aku sadar selama ini aku hidup di diri yang aku sendiri tak
kenali. Aku bahkan tak tahu sepenuhnya tentang seutuh jwa dan ruh yang selama
ini aku miliki.
Aku hanya seorang penakut.
seorang pecundang yang lupa cara
malu.
Kini kemana aku harus pergi?
Dimana harus memulai?
larut malam bersama kejujuran
untuk pecundang yang baru berkenalan dengan dirinya
terimakasih sedih. 15-07-12.
***
Labels: kisahku