Thursday, February 04, 2021

ii

selamat pagi, siang, sore atau mungkin malam,
aku ga tau kapan kamu akan menemukan tulisan ini,
hari ini cerah sekali di urbana walaupun super dingin -6'
sebaliknya saat aku menulis ini, di sana sudah malam,
baru saja aku melepas kamu tidur dengan emotikon cium dan,
kamu membalas dengan "enak uga dicium sebelum bobo",
hehe dasar aku memang bukan suami romantis.

hey, hari ini kamu udah ... tahun,
tahun-tahun orang mulai memilih lilin batang sebagai pengganti lilin angka di cake ulang tahunnya.
aku sadar pas pesan cake untuk kamu dan aku kasih tahu ulang tahun keberapa,
lalu mbanya nanya, "mau pake lilin angka atau mau batang aja, pak",
iya, akupun dipanggil bapak mulai dari percakapan itu padahal sebelumnya dipanggil "kak",




biasanya aku akan menyecup kening kamu pagi harinya setalah bangun,
mengucapkan selamat dilanjut pelukan bertiga bersama agis,
kali ini, seperti tahun lalu semua hanya bisa virtual,
semoga tetap terasa dekat terasa hangat,

aku tahu,
biasanya kamu memilih untuk tidak membuka pesan singkat di awal hari ulang tahun,
kamu memilih melewatkan ucapan selamat dan membuat seakan hari ini hari biasa,
lalu selepas ashar atau magrib baru kamu balas satu satu,
akan terulang berkali kali senyum senyum simpul sembari membaca pesan,
sesekali kamu memanggil aku dan bilang "ya Allah say, orang kenapa pada baik baik banget",
lalu biasanya kita akan ke rumah mama papa dan baru tiup lilin dan potong kue di komando agis,
agis selalu paling semangat siapapun yang berulang tahun,
aku bisa membayangkan satu satu scene itu semua dengan jelas,

sayang, 
hari ini banyak doa doa baik buat kamu,
melengkapi doa dan harap mereka aku mau sampaikan sesuatu,

sayang,
di hari spesial ini aku mau bilang terima kasih,
terima kasih sudah menjadi istri yang sangat perhatian,
terima kasih untuk semua tawa dan kehebohan yang kamu bawa di rumah,
terima kasih sudah menjadi ibu yang kasih agis berlimpah perhatian,

menjadi salah satu dari doa doa baik hari ini,
aku berdoa semoga kamu diberikan rasa tenang dan damai hatinya menjalani hari-hari.
dipenuhi rasa syukur dan dilimpahkan kesehatan. 
dan untuk beberapa rencana kita tahun ini, semoga ini diijabah diusia baru. amin.

tahun depan kita rayakan sama sama, ya..


love
riski










Wednesday, February 03, 2021

causes of poverty

 "To seek causes of poverty in this way is to enter an intellectual dead end because poverty has no causes. Only prosperity has causes" - Jane Jacob 



Sunday, September 20, 2020

Konflik Kepentingan Stafsus Milenial [Podcast]

ngobrolin isu konflik kepentingan para staf khusus milenial bersama Rahmia Hasniasari




Labels:

Bedah Isi Dapur Kartu Prakerja [Podcast]

 ngobrol santai bersama Mas Aulia Rachman Alfahmi membahas mengenai Kartu Prakerja.



    Bedah Isi Dapur Kartu Prakerja


Labels:

Quick strategies needed to shift dependency on China

 Since the beginning of the year, the world has been shocked by the spread of the novel coronavirus, which started in Wuhan, China, and has spread to many parts of the globe.  The  World Health Organization has declared an international emergency in regard to the epidemic, which it has now named COVID-19. As of Feb. 14, China alone reported nearly 60,000 confirmed cases and a death toll of over 1,350 people. In this global era, the total trade between countries and the intersection of the value chain becomes a determinant of the relationship between one country and another. Of course, many ask, how big is the estimated impact on the Indonesian economy and what can we do?     China is Indonesia's largest trading partner, our second-largest supplier, and third-largest foreign investor. These three indicators should be more than enough for us to be vigilant and immediately anticipate further adverse impacts.

Following the spread of the virus, the World Bank revised down its forecast for world economic growth, initially estimated at 2.5 percent this year. In 2019, China grew by 6.1 percent, lower than its target of 6.6 percent. China’s growth is projected to hover around 5 percent in 2020, after the spread of the coronavirus. The virus has so far spread to over 23 other countries. The impact of the virus on the economy will be massive, as a result of the linkages between the economy of China and other countries, through the global value chain. There are several linkages that we need to be aware of – the trade of goods, migration of people and investment.   The first linkage is a trade that will be affected by the weakening of the Chinese economy. Since 2013, China has replaced Japan as Indonesia's largest trading partner. China accounts for 24 percent of Indonesia's total trade. In the first nine months of 2019, Indonesia's trade with China totaled US$52.39 billion, consisting of $19.81 billion in exports and $32.58 billion in imports. This was down by a range of 1-2 percent from 2018, due to the impact of the United States-China trade war. Indonesia's exports to China consist mainly of lignite, coal briquettes, palm oil, sulfate chemical wood pulp and ferroalloys. These are raw materials that are in demand in China, as they are vital for the manufacturing sector. For example, IHS Markit estimated a loss of at least 350,000 units of car production as of Feb. 10, as manufacturing plants were temporarily closed. If the plants remain closed until mid-March, the loss of production would reach more than 1.7 million units. This is just an example of how the virus would impact Indonesian exports to China.

Furthermore, imports from China include electronics, machinery, steel, plastic and organic chemistry. Such goods may not be directly affected by the epidemic, however, for example, an Indonesian policy to stop garlic imports from China would directly increase garlic prices in our country. The second linkage is people migration. Since Feb. 5, Indonesia’s government has closed all flights to and from China. We are beginning to feel the adverse impact on tourism and the travel industry. Last year, tourist arrivals from China totaled 2.7 million or 17 percent of total tourist arrivals in the country. As Chinese tourists spend $965 per visit on average, we can imagine how massive its impact on the economy as a whole would be. The third linkage is through investment. Even though the virus has not yet caused any cancelation of Chinese investment projects, the virus would delay project implementation due to the problems in the flow of goods and people (workers). Moreover, China, as the world’s second-largest economy, has become the world’s factory, producing numerous parts and components of industrial goods for global supply chains. Even though no one can yet predict how long the coronavirus spread will continue, the Indonesian government should act immediately to diversify its export and import markets. The government should make concerted efforts to reduce the country’s heavy dependence on China’s markets, tourists and investments. Given the multiplier impact of tourism, from airlines to hotels and souvenir shops, special contingency measures should be taken to help major tourist destinations, such as Bali and North Sulawesi, which depend mainly on China.


*This article was published in thejakartapost.com with the title "Quick strategies needed to shift dependency on China". Click to read: https://www.thejakartapost.com/academia/2020/02/14/quick-strategies-needed-to-shift-dependency-on-china.html.

Miopi "Bom Waktu" Bantuan Pangan

 Sebuah tulisan sebagai tanggapan atas opini yang dimuat KOMPAS edisi 14 Februari 2020

Minggu malam kita baru saja dikejutkan dengan pesta paling akbar perfilman dunia, Academy Award, untuk kali pertama wajah Asia mendapat penghargaan tertinggi “best picture” lewat film berjudul Parasite. Sebuah film yang berpesan tentang pentingnya mutualisme dalam membangun sebuah ekosistem. Pesan ini menarik sekaligus relevan dengan artikel Kompas 10 Februari 2020 berjudul “Bom Waktu Bantuan Pangan” yang menurut penulis artikel tersebut belum melihat secara komprehensif transformasi kebijakan bantuan pangan. Semangat perbaikan dan simbiosis mutualisme antar pihak menjadi pisau analisisnya.Pertama, hanya sisi supply yang menjadi fokus artikel tersebut, di mana pembahasan Bulog yang tidak lagi menjadi penyalur beras untuk Program Bantuan Pangan berdampak pada kesimpulan melemahnya peran Bulog dalam menjaga stabilitas harga dan menumpuknya beras di beberapa gudang penyimpanan. Perubahan skema menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ini dianggap mengusik pangsa pasar yang selama ini secara pasti menjadi captive market Bulog. Keduanya berkaitan karena 25% cakupan penerima manfaat BPNT menjadi bagian dari target stabilitas harga pangan secara nasional. Namun, satu hal yang perlu diperjelas sejak awal:

kebijakan stabilitas harga beras oleh Bulog adan BPNT oleh kementerian Sosial adalah dua kebijakan yang terpisah.

Sejak 2017 hingga saat ini Bulog selalu menjadi bagian dari stakeholder yang terlibat dalam pembahasan. Bulog terinformasi sejak awal daerah mana saja yang secara bertahap akan bertransformasi menjadi BPNT Sehingga semestinya Bulog dapat memetakan lebih baik kebutuhan pasar untuk menyesuaikan total pasokan yang dibutuhkan serta jumlah yang dikelola di gudang. Bahkan, perubahan dari skema natura menjadi BPNT ini membuat Bulog bisa fokus pada daerah-daerah khusus.Lebih jauh, ada baiknya menengok sebentar ke skema awal bantuan secara natura. Dalam skema tersebut, Bulog menjadi satu-satunya pemasok beras yang disalurkan ke titik distribusi dan dilanjutkan ke titik pembagian. Dalam skema ini, tingkat inefisiensi yang ditimbulkan dari beban biaya transportasi beras sangat besar yang tentu berdampak pada penurunan kualitas beras yang disalurkan. Maka, tidak jarang kita mendengar keluhan tentang beras yang terdistribusi tidak tepat waktu dan berkualitas rendah.

Di sisi lain, berdasarkan data tahun 2018, dari total 514 Kabupaten/Kota se-Indonesia, 250 di antaranya adalah wilayah yang surplus beras. Artinya, daerah ini akan jauh lebih optimal bila memanfaatkan pasokan beras dari wilayahnya masing-masing. Selain efisien secara biaya transportasi, kualitas yang ditawarkan akan jauh lebih baik dibanding dengan beras yang sudah menempuh ribuan kilometer, bahkan bermalam menyebrangi pulau.Kedua, sisi demand para penerima manfaat juga patut diperhatikan. Perubahan paling mendasar dari transformasi secara natura menjadi BPNT adalah keleluasan memilih jenis dan jumlah kombinasi beras dan minyak yang dikonsumsi dari Rp110.000 yang diterima per bulannya. Beberapa hal menarik yang muncul, pertama beneficiaries tidak langsung mengkonsumsi di tanggal ketika subsidi disalurkan. Hal tersebut memungkinkan adanya ruang pengelolaan keuangan  bagi setiap penerima BPNT. Kedua, terdapat pilihan untuk memilih jenis beras atau minyak yang mereka beli yang ternyata tidak selalu jenis beras termurah. Fakta tersebut merupakan penjelasan mengapa selama ini penerim manfaat sering kali tidak mau menerima beras yang disalurkan oleh Bulog.

Ketiga, terdapat aspek sosial kemasyarakatan yang perlu diperhatikan pada skema penyaluran bantuan pangan yang sudah lebih dari 20 tahun berjalan ini.  Mulai dari dampak efek hubungan tak sejajar atau patron-client yang secara sederhana tergambar dalam besarnya pengaruh kepala desa sebagai titik terakhir simpul program ini. Pada sebagian wilayah muncul kesan bahwa pemilik bantuan adalah kepala desa yang kemudian berdampak pada aspek sosial yang bermuara pada efek politik dalam pemilihan pemimpin daerah. Selain itu, efek ‘heboh’ atau demonstration effect yang dimunculkan dari proses di hari pembagian juga berdampak pada kecemburuan sosial di beberapa daerah. Tipisnya perbedaaan kondisi ekonomi antara penerima dengan yang bukan penerima membuat interaksi sosial masyarakat jadi terganggu. Dampak tersebut dapat diminimalisasi dengan adanya skema non tunai di mana subsidi langsung disalurkan ke rekening masing-masing penerima manfaat. Belum lagi, potensi peningkatan inklusi keuangan yang paralel dengan mulai meningkatnya kepemilikan akun bank pada kelompok 25% pendapatan terendah di Indonesia. Sebagai bonus, data yang tercatat dari BPNT dimanfaatkan untuk program lebih lanjut di masa mendatang.

Kembali ke khittoh program

Transformasi dari Raskin sebagai antisipasi kerawanan pangan pada tahun 1998, menjadi Rastra, dan kini menjadi BPNT bukan tanpa sebab. Setiap prosesnya merupakan sejarah bagaimana satu persatu titik lemah program terus diperbaiki. Mulai dari ketepatan sasaran dengan skema basis data terpadu by name by addres, peningkatan tepat kualitas produk dan durasi disribusi, serta administrasi penyaluran – yang kini otomatis terkirim ke rekening penerima setiap tanggal 25 tiap bulannya. Hal ini adalah amanat yang diberikan oleh Presiden sebagai salah satu program prioritasnya yang tentu perlu menjadi kompas seluruh stakeholder yang terlibat.

Tercatat sejak reformasi, siapapun presidennya program yang tidak akan hilang adalah bantuan pangan ini. Alasannya jelas, bahwa 65% dari garis kemiskinan di Indoensia ditentukan oleh faktor makanan, di mana beras menyumbang lebih dari seperempat porsi tersebut. Sehingga, tidak salah bila menyebut ini adalah kebijakan vital dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan. Tentu agar optimal setiap pihak penting untuk berkolaborasi seperti seperti pesan yang disampaikan film Parasite yang membuat untuk pertama kali film Asia memenangkan Piala Oscar setelah puluhan tahun lamanya, tidak tanggung-tanggung empat kategori sekaligus.

*Tulisan ini dimuat di Senayan-Post edisi 15 Februari 2020.


Wednesday, December 19, 2012

lembar persembahan


Sembah sujud kehadiratMu Allah, telah izinkan aku menjadi manusia dari tanah liat atas niatmu. Kuiringi dengan doa dan harap semoga tiada kesia-siaan yang aku persembahkan membalas nikmatmu yang tak terhingga. Teriring salawat dan salam untuk nabi Allah junjungan Muhammad SAW.

Untuk semesta dan alam bumi Allah. Sungguh padamu tanah dengan bebatuan, pohon dan dedaunan, laut, langit dan semua materi yang telah dicipta diantara langit dan bumi menjadi guruku dalam melangkah, berpikir merasakan kegundahan dan berniat menemukan rahasia-demi rahasianya. Doaku untuk kita terus tetap bersahabat untuk nanti bertemu Tuhan bersama-sama dalam damai.
baca selengkapnya »

Labels:

Sunday, July 22, 2012

dimana?



Pernah tidak kamu bertanya dalam hati, "mana diriku"?

Atau lebih sederhananya pernah tidak sekelebat hadir pikrian di benak tentang untuk apa sebenarnya kita hidup? tulisan ini bermula dari sapaan kawan lama yang sudah mulai bekerja di salah satu bank swasta.


Dia bilang “Bro, capek juga ternyata lama-lama begini, keliatannya saja keren dan mertua bangga tapi hati ane kosong Bro, piye ki Bro?”

Entahlah maksud dari yang disampaikannya itu sama dengan ribuan pertanyaan yang sering diam-diam masuk ditengah lamunanku. Betapa banyak manusia zaman kini yang lebih menuhankan materi, lebih buruknya lagi dia gunakan patokan ini menilai sesamanya. Seperti lupa kalau hidup berujung mati. Bukan dalam maksud menggurui karena memang tidak pantas diri ini. Tapi coba tanyakan ke hati sendiri-sendiri.

baca selengkapnya »

Labels:

Saturday, July 21, 2012

ramadhan

Akhirnya berjumpa lagi dengan bulan suci ini. Bulan yang setiap orang punya perasaan sendiri-sendiri menyambutnya. Sebahagian bahagia karena sadar akan ada banyak berkah di dalamnya, barangkali ini yang dirasakan para ustadz, kiayi dan sebagian kecil umat. Sebagian lagi berat hati karena harus banyak menahan diri setidaknya untuk kenikmatan makan dan minum di siang hari. Dan sebahagian lagi yaitu yang merasa bahagia kedatangan ramadhan tapi tidak benar-benar sepenuh hati, tapi tidak pula berat hati.
Tentang yang ketiga tadi, saya salah satu diantaranya. apa mau dikata begitu adanya. Semoga kamu adalah termasuk golongan yang pertama. Namun yang lebih penting dari itu barangkali kita semua satu harapan, Berharap semoga bulan suci ini mensucikan. Kemudian nanti saat syawal mengganti ramadhan ada rindu yang tak dibuat-buat. Hadir sedih karena perpisahan, sedih yang sebenar-benarnya.

***

Aku ingat dulu kala masih sekolah di Tsanawiah dan di Asrama SMA, Ramadhan adalah bulan yang sangat dirindukan. Bangun sahur dan melanjutkan dengan mengaji hingga pagi adalah rutinitas biasa. Shalat hampir tidak pernah tidak berjamaah lengkap dengan yang sunnah. Alma’ surat menjadi teman karib menunggu bedug Magrib berlanjut sampai tarawih berjamaah mencicipi semua masjid di kawasan sekitar rumah. Lalu kemana dia sekarang?

Aku masih muslim, tidak murtad apalagi hilang yakin akan keberadaan Tuhan. Shalat lima waktu terus aku dirikan, sesekali  berpuasa di Senin dan Kamis. Tapi terasa ada yang hilang, entah apa, sampai detik ini akupun belum tahu..

Kemudian aku bertanya, bukankah dibanding dulu itu sudah banyak lagi setelahnya aku belajar. Belajar agama dan hal lain tentang dunia yang tentu sedikit banyak menyinggung perkara keyakinan. Atau salah yang aku sedang pelajari dan aku nikmati belakangan ini? Sepertinya tidak...Atau memang begini jalan mencari ilmu, berliku-berpaku-kadang seperti buntu? Barangkali iya..
Awal ramadhan ini aku ingin menjumpai itu lagi, ingin menjemput lagi rasa rindu yang tak dibuat-buat, ingin menikmati lagi rasa khidmat itu. Ingin sekali.

Kini, Biarlah tersesat ini menjadi tanda bahwa aku sedang berjalan, dan tentu untuk keluar darinya satu-satunya yang harus aku lakukan adalah terus berjalan. Menemukan.
Ilmu selalu membukakan cahaya. Tapi, di setiap ujung langkah, kegelapan mencegatnya. Barangkali itulah yang memungkinkan perjuangan menjelajahi arasy ilmu dijanjikan akan mengantarkan kita ke keabadian. Sebut: tuhan.

Pintaku dalam doa ramadhan kali ini..
Allah lembutkanlah hati ini untuk mau menerima ilmu tentang kebaikan..
Lembutkanlah hati ini untuk merasa dekat dengan kematian..
Karena hari ini aku bingung dengan apa sebenarnya kematian dan apa sesungguhnya kehidupan. Kehidupan ini makin jelas dengan ketidak jelasannya dan ketidakjelasannya sangat jelas. Barangkali benar apa yang tertulis di salah satu lukisan di pameran seni Jogja “ Saksikanlah, kematian bertebaran dalam kehidupan.”

Hari ini kematian hampir tidak diketahui oleh mereka yang menyangka tinggal dalam kehidupan. Kematian memang tak terlihat. Ini yang aku rasakan kini, banyak orang bersorak-sorai di lantai pesta kematian yakni kehidupan. Merayakan kematian dengan nyanyian-nyanyian pesta.

Orang mencemaskan kematian yakni kehidupan. Bahkan mereka siap membayar penghindarannya dengan biaya yang muskil, dengan ilmu dan pembangunan kekayaan yang memperanakkan penindasan dan pembunuhan akan kehidupan.
Entahlah..
Sebut saja ini celotehan orang bodoh yang sedang tersesat..
Gigauan manusia bodoh yang tak patut di pedomani..
Ramadhan, aku merindukan khidmadmu di kehidupanku-kematianku..


Dalam sejuk subuh selepas subuh
1 Ramadhan 1433 H



Labels:

Sunday, July 15, 2012

pecundang

kosong-luntur
Kemana harus pergi?
Dimana harus memulai?
Dulu kala hidup di asrama salah satu guru pernah bercerita tentang seorang psikolog yang malang. Awal cerita sangat indah, tentang jutaan orang sedih sayang sudah dibuatnya kembali tersenyum. Diapun barangkali sudah lupa ragam cerita pasien yang didengarnya, tapi yang pasti semua berujung pada tangis haru bahkan pelukan bahagia. Sampai suatu hari dia ditingal mati sang istri dan berhari-hari larut dalam kesedihan. Hingga sadar bahwa dia selama ini hanya tong kosong yang ramaikan suasana kota tapi hampa tanpa isi, nasehatnya tak mampu menyembuhkannya. Iapun mati dalam sedih.
Entahlah cerita itu benar atau tidak. Kalaupun itu semua bohong tapi kala itu setidaknya ruangan dibuat hening setelah berkali kelas terhenti karena disela oleh perbincangan bisik-bisik antar siswa.
Hari ini entah kenapa memori yang sudah lama itu kembali lagi. Tapi aku pahami ceritanya berbeda, dan barangkali juga bukan ini yang dimaksud Bu Rosita kala itu.
Aku sedari kecil dibesarkan ayah dengan cara yang keras. Sepertinya benar kata Ibu kalau beliau ingin cita-citanya aku bisa wujudkan. Sejak kecil dididik untuk terus menjadi “nomor satu”.
Aku sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah lebih banyak dari yang disuruh guru, ayah selalu bilang “kerjakan juga yang dihalaman selanjutnya!!”. Aku sudah terbiasa dengan nasehat ayah bahwa menjadi ketua kelas kala SD adalah penting untuk aku perjuangkan. Aku sudah terbiasa dibentak karena nilai jelek di sekolah. Aku sudah terbiasa makan tepat waktu, dan haram untuk berangkat sekolah tanpa sarapan. Aku sudah terbiasa dengan hari minggu di rumah untuk belajar tambahan. Dsb.
Tanpa ku sadari ini yang membentuk pribadiku hari ini. Seperti sepotong kalimat Paman Ben dalam film Spiderman, bahwa “Kamu hari ini adalah kumpulan perca masa lalumu”. Aku tak pernah menyesal dan tak akan.

Sejak SD aku sering mendapat pujian, tentang rambut ikalku, nilai raporku, peringkat kelas, masuk di sekolah faforit, menjadi ketua kelas, menjadi ketua BEM dan bahkan hingga sekarang sering aku dengar gemuruh tepuk tangan seselesai aku menutup sebuah sebutlah pidato dihadapan teman-teman kampusku.
Barangkali ada yang belum sempat ayah ajarkan padaku diusianya yang pendek, atau barangkali ini maksud dari kalimat terakhirnya sebelum tutup usia, “teruslah belajar, jaga mamamu”
Aku tak tahu cara mengalah..
Aku tak tahu cara mengatasi perasaan sebagai pecundang..
Aku tak pernah diajari apa yang harus kulakukan kala dibuang..
Aku benar-benar tidak tahu..
Hari ini aku sadar betul siapa aku. Dunia indah dulu hanya beralaskan kaca rapuh, dan kini sudah runtuh. Aku tak ingin salahkan siapapun untuk ini. Bukan salah ayah yang mendidik dan membuatku kini begini atau salah dia dan segala kisah yang menyadarkanku tentang ini. Aku saja yang hanya baru menemukannya, menemukan bahwa ketakutanku, manjaku dan kemunafikanku lebih besar dari semua pujian itu.
Aku sadar bahwa aku terlalu kuat berjuang untuk bahagia dan cara menikmatinya tanpa ingat setiap diri perlu juga untuk mengerti bahwa ada kalanya kalah dan terbuang. Semestinya aku juga tahu cara berjuang dari kesedihan yang menyelimuti itu semua.
Kemana saja aku selama ini?
Apa mungkin hanya lupa?
Untuk ayah yang aku yakin sekali sedang dipelukanNya, aku ingin sampaikan bahwa aku baru memahami nasehatmu. Untuk Ibu yang tadi subuh menangis mendengar kabar anakmu aku pinta maaf setulus hatiku. Sungguh aku menyayangimu dan tak pernah berkurang sedikitpun.
Aku sadar bahwa tak ada guna membesar-besarkan gemuruh tepuk tangan selama ini. Tak ada arti menyimpan segala puji bila jadinya lupa diri. Aku sadar selama ini aku hidup di diri yang aku sendiri tak kenali. Aku bahkan tak tahu sepenuhnya tentang seutuh jwa dan ruh yang selama ini aku miliki.
Aku hanya seorang penakut.
seorang pecundang yang lupa cara malu.

Kini kemana aku harus pergi?
Dimana harus memulai?

larut malam bersama kejujuran
untuk pecundang yang baru berkenalan dengan dirinya
terimakasih sedih. 15-07-12.
***


Labels: