Sunday, April 11, 2010

jantung nyawa

Berjalan kususuri salah satu sudut kota ini, tak tahu sebenarnya apa yang sedang ucari, tapi aku ingin menemukannya.
***

Dia terlihat sangat lemah, gontai langkahnya. Matanya sayu berat menahan kantuk. Di sela senyumnya yang terkesan dipaksa batuknya kadang keluar tak tertahan.
Dia tetap semangat mengipas sate dagangannya. Sesekali berteriak setengah menyapa ” satee.. satee tiga ribu 10 tusuuk !.” suaranya terdengar parau dimakan usia.
Kerut keriput kulitnya ingatkan aku pada almarhum nenek yang sudah dijemput kehadiratNya lima tahun yang lalu....





cerita ini dimulai

Ini yang ku dengar.

Dari ibu sering au mendengar cerita tentang bagaimana dia (nenek) dulu. Ia satu-satunya wanita dari tujuh bersaudara. Ana tertua. Saat sekolah rakyat nenek ditinggal mati ibunya. Buyutku. Jadilah dia wanita satu-satunya di keluarga.

Selayaknya biasa, pekerjaan rumah tanggung jawab tak terelakkan darinya. Mungkin agak aneh terdengar karena nenek punya enam saudara. ini tradisi kami.
Tapi dia selalu dapat ponten baik untuk urusan ini. Dia jagonya.

Ini yang kurasakan.
Saat SMP aku aku ditinggalkan orang tua. Untuk keperluan kerja, harusnya aku ikut tapi tapi tidak untuk kali ini karena nenek memintaku untuk sekolah di kampung saja. Masa SMP adalah masa tumbuhku bersamanya. Walau kita beda masa tapi nenek selalu bisa menghiburku. Tak kupungkiri aku rindu ayah ibuku kala itu. Tapi nenek bisa tutup semua itu.

Tak banyak yang aku fikirkan masa itu. Barangkali karena setiap hari bersama. Aku dan mungkin juga nenek lupa kalau anak seusiaku sangat menyusahkannya yang berusia tua.

Tapi dia sabar. Pagi dia sudah siapkan semua. Seperti biasa menu spesial nasi dengan lauk telur mata sapi plus sambal ala nenek. Siang saat ku pulang dia selalu tersenyum menyapa “ baa tadi baraja di sekolah ? (gimana tadi belajar di sekolah ?). Padahal jelas kulihat keringat mengalir di kulit keriputnya yang baru saja balik dari sawah. Biasanya nenek bercerita tentang penjajah kepadaku setelah makan siang. Sorenya seperti biasa dia menyuruhku mengaji , walaus sering kukibuli dengan alasan itu ini. Malam datang artinya nenek telah siapkan menu selanjutnya. Biasanya nasi dengan lauk telur dadar di campur potongan teri.



Tiga tahun kemudian...

Ini masih yang aku rasakan.
Ibu ayah dan tiga kakakku pulang dan tinggal bersama kami dirumah. Sekarang tidak lagi sepi. Karena kami tidak lagi berdua. Kita berlima sekarang dan ada tiga orang perempuan.

Hari-hari tak lagi seperti biasa. Semua berbeda, mungin lebih indah. Pagi ku sekarang bersama segelas susu dan nasi goreng daging buatan kakak. Aku suka ini jauh lebih ni’mat dari nasi telor mata sapi nenek. Siangpun tak seperti biasa aku tak lagi menghabiskan waktu bercerita soal penjajahan karena sekarang aku punya sepeda. Sorenyapun tak lagi sama setelah maghrib berjama’ah kita makan bersama dengan menu ayam atau gulai daging bikinan ibuku. Enak. Jauh lebih enak dari nasi telor dadar.

6 bulan berjalan kulihat nenek tak lagi seperti biasa. Meungkin perasaanku saja karena kulihat dia lebih banyak diam dari biasa..

Nenek kenapa ? nenek ga lagi sakit kan ya..
Nek.. cerita lagi dong nek, tentang tentara belanda ..
Enak ya nek sekarang dirumah jadi rame, dulu cuma kita berdua..
Eh nek, mama pinter ya masaknya ..
rendangnya enak..

Nek..
Sekarang nenek ga usah mikirin ki lagi..
Maafin ki ya nek..
pasti 3 tahun ni ki udah nyusahin nenek..


Sawah kita juga ga usah dipikirin lagi nek, kata mama udah ada yang nolongin kerja.
Nenek senengkan ..?
Ko dari tadi ga di jawab nek..


Akhirnya setelah diam tenang lama, nenek menjawab..
Dia tak berkata, dia hanya senyum..
Tapi matanya berkaca-kaca..


satu bulan setelahnya..

rumahku ramai malam ini, suara dengau orang mengaji memenuhi setiap sudut rumah. Di beranda ku lihat kakak menangis terisak tak tertahan air matanya. Di ruang tengah penuh sesak dan ibuku ada di tengah, ia menahan isak disamping nenek yang yang tersenyum berbalut kain putih setubuhnya.
nenek pergi tinggalkan kami untuk selamanya.

***

"Satee satee tiga ribu sepuluh tusuk.. !!"
Aku tersenyum, nenek penjual sate di depanku kembali berteriak setengah menyapa..

Inilah hidup.
kita tak menyadari kadangsemangat ini lahir bukan karena nasi yang dimakannya. tapi karena ada harapan di depannya. ada yang membutuhkan disampingnya. boleh saja badan ini lelah tapi tidak jiwanya.

karena jantung jiwalah sejatinya yang hidupkan rasa.
.
Banyak yang aku tak mengerti tentang hidup.
Aku harus menemukannya. Akan ku cari ..



malioboro.10.04.2010
dibangku batu dihadapan nenek penjual sate yang penuh semangat.
semoga nenek bisa baca ini dari sana..
aku rindu nasi putih dan telor mata sapi khas nenek

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home