Wednesday, December 19, 2012

lembar persembahan


Sembah sujud kehadiratMu Allah, telah izinkan aku menjadi manusia dari tanah liat atas niatmu. Kuiringi dengan doa dan harap semoga tiada kesia-siaan yang aku persembahkan membalas nikmatmu yang tak terhingga. Teriring salawat dan salam untuk nabi Allah junjungan Muhammad SAW.

Untuk semesta dan alam bumi Allah. Sungguh padamu tanah dengan bebatuan, pohon dan dedaunan, laut, langit dan semua materi yang telah dicipta diantara langit dan bumi menjadi guruku dalam melangkah, berpikir merasakan kegundahan dan berniat menemukan rahasia-demi rahasianya. Doaku untuk kita terus tetap bersahabat untuk nanti bertemu Tuhan bersama-sama dalam damai.
baca selengkapnya »

Labels:

Sunday, July 22, 2012

dimana?



Pernah tidak kamu bertanya dalam hati, "mana diriku"?

Atau lebih sederhananya pernah tidak sekelebat hadir pikrian di benak tentang untuk apa sebenarnya kita hidup? tulisan ini bermula dari sapaan kawan lama yang sudah mulai bekerja di salah satu bank swasta.


Dia bilang “Bro, capek juga ternyata lama-lama begini, keliatannya saja keren dan mertua bangga tapi hati ane kosong Bro, piye ki Bro?”

Entahlah maksud dari yang disampaikannya itu sama dengan ribuan pertanyaan yang sering diam-diam masuk ditengah lamunanku. Betapa banyak manusia zaman kini yang lebih menuhankan materi, lebih buruknya lagi dia gunakan patokan ini menilai sesamanya. Seperti lupa kalau hidup berujung mati. Bukan dalam maksud menggurui karena memang tidak pantas diri ini. Tapi coba tanyakan ke hati sendiri-sendiri.

baca selengkapnya »

Labels:

Saturday, July 21, 2012

ramadhan

Akhirnya berjumpa lagi dengan bulan suci ini. Bulan yang setiap orang punya perasaan sendiri-sendiri menyambutnya. Sebahagian bahagia karena sadar akan ada banyak berkah di dalamnya, barangkali ini yang dirasakan para ustadz, kiayi dan sebagian kecil umat. Sebagian lagi berat hati karena harus banyak menahan diri setidaknya untuk kenikmatan makan dan minum di siang hari. Dan sebahagian lagi yaitu yang merasa bahagia kedatangan ramadhan tapi tidak benar-benar sepenuh hati, tapi tidak pula berat hati.
Tentang yang ketiga tadi, saya salah satu diantaranya. apa mau dikata begitu adanya. Semoga kamu adalah termasuk golongan yang pertama. Namun yang lebih penting dari itu barangkali kita semua satu harapan, Berharap semoga bulan suci ini mensucikan. Kemudian nanti saat syawal mengganti ramadhan ada rindu yang tak dibuat-buat. Hadir sedih karena perpisahan, sedih yang sebenar-benarnya.

***

Aku ingat dulu kala masih sekolah di Tsanawiah dan di Asrama SMA, Ramadhan adalah bulan yang sangat dirindukan. Bangun sahur dan melanjutkan dengan mengaji hingga pagi adalah rutinitas biasa. Shalat hampir tidak pernah tidak berjamaah lengkap dengan yang sunnah. Alma’ surat menjadi teman karib menunggu bedug Magrib berlanjut sampai tarawih berjamaah mencicipi semua masjid di kawasan sekitar rumah. Lalu kemana dia sekarang?

Aku masih muslim, tidak murtad apalagi hilang yakin akan keberadaan Tuhan. Shalat lima waktu terus aku dirikan, sesekali  berpuasa di Senin dan Kamis. Tapi terasa ada yang hilang, entah apa, sampai detik ini akupun belum tahu..

Kemudian aku bertanya, bukankah dibanding dulu itu sudah banyak lagi setelahnya aku belajar. Belajar agama dan hal lain tentang dunia yang tentu sedikit banyak menyinggung perkara keyakinan. Atau salah yang aku sedang pelajari dan aku nikmati belakangan ini? Sepertinya tidak...Atau memang begini jalan mencari ilmu, berliku-berpaku-kadang seperti buntu? Barangkali iya..
Awal ramadhan ini aku ingin menjumpai itu lagi, ingin menjemput lagi rasa rindu yang tak dibuat-buat, ingin menikmati lagi rasa khidmat itu. Ingin sekali.

Kini, Biarlah tersesat ini menjadi tanda bahwa aku sedang berjalan, dan tentu untuk keluar darinya satu-satunya yang harus aku lakukan adalah terus berjalan. Menemukan.
Ilmu selalu membukakan cahaya. Tapi, di setiap ujung langkah, kegelapan mencegatnya. Barangkali itulah yang memungkinkan perjuangan menjelajahi arasy ilmu dijanjikan akan mengantarkan kita ke keabadian. Sebut: tuhan.

Pintaku dalam doa ramadhan kali ini..
Allah lembutkanlah hati ini untuk mau menerima ilmu tentang kebaikan..
Lembutkanlah hati ini untuk merasa dekat dengan kematian..
Karena hari ini aku bingung dengan apa sebenarnya kematian dan apa sesungguhnya kehidupan. Kehidupan ini makin jelas dengan ketidak jelasannya dan ketidakjelasannya sangat jelas. Barangkali benar apa yang tertulis di salah satu lukisan di pameran seni Jogja “ Saksikanlah, kematian bertebaran dalam kehidupan.”

Hari ini kematian hampir tidak diketahui oleh mereka yang menyangka tinggal dalam kehidupan. Kematian memang tak terlihat. Ini yang aku rasakan kini, banyak orang bersorak-sorai di lantai pesta kematian yakni kehidupan. Merayakan kematian dengan nyanyian-nyanyian pesta.

Orang mencemaskan kematian yakni kehidupan. Bahkan mereka siap membayar penghindarannya dengan biaya yang muskil, dengan ilmu dan pembangunan kekayaan yang memperanakkan penindasan dan pembunuhan akan kehidupan.
Entahlah..
Sebut saja ini celotehan orang bodoh yang sedang tersesat..
Gigauan manusia bodoh yang tak patut di pedomani..
Ramadhan, aku merindukan khidmadmu di kehidupanku-kematianku..


Dalam sejuk subuh selepas subuh
1 Ramadhan 1433 H



Labels:

Sunday, July 15, 2012

pecundang

kosong-luntur
Kemana harus pergi?
Dimana harus memulai?
Dulu kala hidup di asrama salah satu guru pernah bercerita tentang seorang psikolog yang malang. Awal cerita sangat indah, tentang jutaan orang sedih sayang sudah dibuatnya kembali tersenyum. Diapun barangkali sudah lupa ragam cerita pasien yang didengarnya, tapi yang pasti semua berujung pada tangis haru bahkan pelukan bahagia. Sampai suatu hari dia ditingal mati sang istri dan berhari-hari larut dalam kesedihan. Hingga sadar bahwa dia selama ini hanya tong kosong yang ramaikan suasana kota tapi hampa tanpa isi, nasehatnya tak mampu menyembuhkannya. Iapun mati dalam sedih.
Entahlah cerita itu benar atau tidak. Kalaupun itu semua bohong tapi kala itu setidaknya ruangan dibuat hening setelah berkali kelas terhenti karena disela oleh perbincangan bisik-bisik antar siswa.
Hari ini entah kenapa memori yang sudah lama itu kembali lagi. Tapi aku pahami ceritanya berbeda, dan barangkali juga bukan ini yang dimaksud Bu Rosita kala itu.
Aku sedari kecil dibesarkan ayah dengan cara yang keras. Sepertinya benar kata Ibu kalau beliau ingin cita-citanya aku bisa wujudkan. Sejak kecil dididik untuk terus menjadi “nomor satu”.
Aku sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah lebih banyak dari yang disuruh guru, ayah selalu bilang “kerjakan juga yang dihalaman selanjutnya!!”. Aku sudah terbiasa dengan nasehat ayah bahwa menjadi ketua kelas kala SD adalah penting untuk aku perjuangkan. Aku sudah terbiasa dibentak karena nilai jelek di sekolah. Aku sudah terbiasa makan tepat waktu, dan haram untuk berangkat sekolah tanpa sarapan. Aku sudah terbiasa dengan hari minggu di rumah untuk belajar tambahan. Dsb.
Tanpa ku sadari ini yang membentuk pribadiku hari ini. Seperti sepotong kalimat Paman Ben dalam film Spiderman, bahwa “Kamu hari ini adalah kumpulan perca masa lalumu”. Aku tak pernah menyesal dan tak akan.

Sejak SD aku sering mendapat pujian, tentang rambut ikalku, nilai raporku, peringkat kelas, masuk di sekolah faforit, menjadi ketua kelas, menjadi ketua BEM dan bahkan hingga sekarang sering aku dengar gemuruh tepuk tangan seselesai aku menutup sebuah sebutlah pidato dihadapan teman-teman kampusku.
Barangkali ada yang belum sempat ayah ajarkan padaku diusianya yang pendek, atau barangkali ini maksud dari kalimat terakhirnya sebelum tutup usia, “teruslah belajar, jaga mamamu”
Aku tak tahu cara mengalah..
Aku tak tahu cara mengatasi perasaan sebagai pecundang..
Aku tak pernah diajari apa yang harus kulakukan kala dibuang..
Aku benar-benar tidak tahu..
Hari ini aku sadar betul siapa aku. Dunia indah dulu hanya beralaskan kaca rapuh, dan kini sudah runtuh. Aku tak ingin salahkan siapapun untuk ini. Bukan salah ayah yang mendidik dan membuatku kini begini atau salah dia dan segala kisah yang menyadarkanku tentang ini. Aku saja yang hanya baru menemukannya, menemukan bahwa ketakutanku, manjaku dan kemunafikanku lebih besar dari semua pujian itu.
Aku sadar bahwa aku terlalu kuat berjuang untuk bahagia dan cara menikmatinya tanpa ingat setiap diri perlu juga untuk mengerti bahwa ada kalanya kalah dan terbuang. Semestinya aku juga tahu cara berjuang dari kesedihan yang menyelimuti itu semua.
Kemana saja aku selama ini?
Apa mungkin hanya lupa?
Untuk ayah yang aku yakin sekali sedang dipelukanNya, aku ingin sampaikan bahwa aku baru memahami nasehatmu. Untuk Ibu yang tadi subuh menangis mendengar kabar anakmu aku pinta maaf setulus hatiku. Sungguh aku menyayangimu dan tak pernah berkurang sedikitpun.
Aku sadar bahwa tak ada guna membesar-besarkan gemuruh tepuk tangan selama ini. Tak ada arti menyimpan segala puji bila jadinya lupa diri. Aku sadar selama ini aku hidup di diri yang aku sendiri tak kenali. Aku bahkan tak tahu sepenuhnya tentang seutuh jwa dan ruh yang selama ini aku miliki.
Aku hanya seorang penakut.
seorang pecundang yang lupa cara malu.

Kini kemana aku harus pergi?
Dimana harus memulai?

larut malam bersama kejujuran
untuk pecundang yang baru berkenalan dengan dirinya
terimakasih sedih. 15-07-12.
***


Labels:

Saturday, June 02, 2012

tidurlah




Pada akhirnya malam akan menjemput sore yang sudah lelah menggantikan siang. Tidurlah, menikmati alam bebas nilai saat sepenuhnya rasa disandarkan pada kehendakNya. Apapun itu rasa yang sedang menyelimuti hatimu, biarkan mati rasa ini melingkupi sepenuhnya, hingga hanya dia yang tak berasa yang kita punya. tidurlah.

Sama sepertimu, akupun ingin hidup ini selalu berjalan damai. Menikmati bahagia sepenuh usia selayaknya cita-cita manusia pada umumnya. Akupun sepertimu yang merasakan kacau  hingga lapangnya dunia tak tertangkap lagi dipandangku, semua menyempit, menjepit. Menghimpit.

Seperti seringkali aku tak percaya akan mampu melewatinya, sesering itu pula aku kemudian ternganga bahwa aku sudah di cerita lainnya, aku menyelesaikannya. Menyelesaikannya untuk menuju cerita selanjutnya. berputar, berganti, berotasi.
Seperti siang tadi sekarang sudah menjadi malam. Malam untuk besok akan berganti menjadi siang yang baru. tidurlah.

***
tidurlah-payung teduh

Labels:

Ilusi



Sebuah catatan 14 tahun reformasi

Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah dilakukan sejak negara ini berpredikat merdeka. Meskipun demikian jumlah orang miskin di Indonesia cenderung masih besar. Dewasa ini masalah penanggulangan kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari perubahan struktural yang terjadi pasca reformasi. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana dampak perubahan struktural yang terjadi pada saat reformasi dan kaitannya akan kinerja program penanggulangan kemiskinan?

reformasi tak tepat waktu
Yang dihadapi Indonesia pasca reformasi adalah perubahan struktur pemerintahan, politik dan ekonomi. Di era Orde Baru, sistem pemerintahannya adalah otoritarian. Hubungan trias politica sepenuhnya didominasi oleh birokrat, diikuti oleh yudikatif dan terakhir legislatif. Peran legislatif tidak lebih sebagai alat legitimasi kebijakan pemerintah dan ‘alat pelengkap’ demokrasi semata. Kala itu, sistem pemerintahan mengikuti pendekatan top down. Tidak mengherankan ketika itu jika posisi seorang Menteri Koordinator (Menko) adalah sangat kuat dan mampu mengkoordinasikan departemen-departemen teknis di bawahnya. Sistem pemerintahan juga cenderung sentralistis, di mana Jakarta merupakan pusat dari segala pengambilan keputusan dan aktivitas politik maupun ekonomi.
Krisis ekonomi memaksa negeri ini untuk melakukan reformasi menggulingkan rezim Orde Baru. Reformasi terjadi pada dua sisi sekaligus, ekonomi dan politik.
Ketika negara dalam kondisi darurat, akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, sistem pemerintahan yang ideal mengatasi masalah krisis seperti itu idealnya adalah pemerintahan otoritarian. Namun pada saat reformasi, krisis ekonomi justru diikuti oleh peralihan dari pemerintahan otoritarian menuju pemerintahan demokratis yang cenderung terlalu egaliter. Tidaklah mengherankan jika krisis ekonomi di Indonesia berkepanjangan, lebih panjang dari negara-negara tetangga, misalnya Malaysia, Thailand dan Korea Selatan, karena sistem pengambilan keputusan yang idealnya dilakukan cepat kala itu, atas nama demokrasi, dilakukan dengan cara yang berbelit.

Sejarah di dunia menunjukkan bahwa demokrasi lebih tepat berlaku pada saat kondisi negara tidak dalam krisis. Di masa krisis, atau di masa perang, negara-negara paling demokratis di dunia-pun menerapkan undang-undang darurat, yang berarti bahwa bentuk pemerintahan saat itu adalah otoritarian.

Induk masalah pasca reformasi
Adalah IMF masuk ke Indonesia atas undangan Suharto pada pertengahan September 1997. Undangan pada diajukan dengan asumsi bahwa krisis hanya bersifat sementara, sehingga bantuan IMF hanya untuk berjaga-jaga (precautionary) terhadap kemungkinan berlanjutnya spekulasi terhadap rupiah.

Ketika kemudian tidak ada tanda-tanda bahwa spekulasi terhadap mata uang Asia akan berlalu, pemerintah akhirnya memutuskan untuk ikut dalam Program IMF pada November 1997. Perpecahan antara IMF dan Suharto segera terjadi menyusul penutupan 16 bank, dua di antaranya adalah milik keluarga dekat Suharto, dan pembatalan proyek-proyek publik besar, yang juga melibatkan keluarga Suharto. Serentetan kebijakan ‘perlawanan’ yang diambil Suharto kemudian untuk mempertahankan kepentingan keluarganya ini merusak kredibilitas pengelolaan ekonomi Indonesia.

Konflik antara IMF dan Suharto baru berakhir ketika kabinet baru yang berisi orang-orang kepercayaan Suharto meyakinkannya bahwa Program IMF sebagai satu-satunya pilihan kebijakan untuk keluar dari krisis pada Maret 1998. Sejak saat itu, peran IMF mengelola ekonomi Indonesia diterima secara de facto, baik oleh pelaku ekonomi dalam dan luar negeri, maupun oleh para politisi.

IMF terlibat dalam proses perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan. Hasil evaluasi IMF atas pelaksanaan Letter of Intent (LoI) menjadi barometer kredibilitas pemerintah, dan seringkali menentukan fluktuasi nilai tukar rupiah. Pelbagai studi studi empiris (seperti Bruno dan Easterly (1996), Drazen dan Easterly (1999) memperlihatkan korelasi antara krisis dan implementasi reformasi ekonomi.

LoI yang ditandaatangani di masa Presiden Soeharto berestafet pada pemerintahan Presiden BJ Habibie. Efek paling besar dapat terlihat pada kinerja DPR yang menghasilkan 77 Undang-undang selama kurang dari dua tahun pemerintahan Presiden Habibie. Apa ini normal sedangkan rata-rata DPR hanya hasilkan belasan UU pertahunnya. Kenyataan menunjukkan bahwa membuat Undang-Undang adalah hal yang rumit dan memakan waktu lama.

Keberadaan 77 UU dalam waktu 2 tahun kemudian diketahui banyak yang merupakan adopsi dan bahkan translasi dari UU dari negara lain. Termasuk di dalam kelompok tersebut adalah UU persaingan usaha, UU Bank Indonesia, otonomi daerah, UU tentang peraturan kelistrikan, energi dan SDA di Indonesia. Ini secara fundamental merubah struktur berbaai aspek di Indonesia.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana dampak ke 77 UU tersebut terhadap struktur pemerintahan dan ekonomi di Indonesia? Hal inilah yang kita rasakan hingga hari ini. 77 UU (Bank Sentral, SDA, kelistrikan, tata kelola keuangan negara) instan tadi telah menajadi payung puluhan UU lain setelahnya. Sehingga tanpa sadar kebijakan IMF yang terbukti gagal kala itu menjadi landasan banyak tata kelola negara kita hinga kini.

Maka tidak berlebihan bila kita menyebut ini serupa kanker ekonomi. Dia terus menjalar menginveksi setiap sendi ekonomi. Maka tidak lebih berlebihan jika kita khawatir lambatnya penurunan angka kemiskinan di negara tercinta ini. Karena yang sedang kita nikmati adalah ilusi. Ilusi reformasi.

Labels:

sia-sia?

Apa tuhan punya motif dalam mencipta takdir makhluknya?
Pertanyaan ini sekelebat hadir sore tadi dipikiranku. Berawal dari menjelajahi indahnya sore kota Jogja. Entah sudah berapa tulisan yang ku awali dengan aktifitas serupa ini. Mau dikata apa, memang begini kebiasaanku. Sejak dulu.
Sudah menjadi  tabiat, saat gelisah memilih menghibur diri dengan mengitari jalanan, menjelajahi sut kota, melihat hiruk pikuk manusia dalam ragam kegiatannya atau hanya sekedar duduk di bangku hijau di depan Benteng Vredeburg. Walau tidak memberi jawaban atas permasaalahan dan bahkan lebih sering memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang apapun itu yang terlewati.
Kali ini kalimat itu yang muncul di benak, Apa tuhan punya motif dalam mencipta takdir makhluknya?
Kata firman disebutkan tiada yang sia-sia dari yang diciptakanNya. Aku meyakini setiap apa yang dilakukan diri pasti memiliki tujuan. Begitupun manusia, Semua perbuatan kita memiliki “supaya...” untuk apa hari ini aku belajar? Supaya terdidik dan mampu mencipta hidup yang lebih baik. Untuk apa kamu bekerja? “supaya” mendapat hasil dan dapat menyambung hidup. Dan begitu seterusnya.
Setiap “untuk apa” memiliki jawaban “supaya”. Kata “supaya” adalah sebuah kata yang menjadikan perbuatan manusia bermakna. Sedangkan, laku tanpa tujuan laksana kalimat tanpa makna, bak kulit tanpa isi.
Aku meyakini, bagaimanapun dalam tiap perbuatan rasionalnya, manusia mempunyai motif dan tujuan. Tiap ada “untuk apa” selalu ada “supaya”. Bila laku sudah kehilangan “untuk apa” dan “supaya” maka dia menjadi sia-sia.
Menurutku tak akan pernah ada perbuatan yang sepenuhnya sia-sia. Hal itu adalah sebuah kemustahilan. Barangkali ia hanya kan menjadi relatif dengan perbuatan lainnya. Misal, perbuatan yang dipicu oleh keinginan dan pandangan ilusif tertentu. Karena tak dikaitkan dengan maksud dan tujuan yang masuk akal kita akan memandangnya sebagai sia-sia. Jadi, dalam hubungannya dengan pelaku tertentu, perbuatan itu dilukiskan sebagai sia-sia. Tapi, dalam hubungannya dengan sumber dan subjek yang relevan tidak melaksanakannya justru akan menjadi sia-sia.
Setidaknya itu keyakinanku.
Barangkali itu yang menjelaskan kenapa perjalanku tanpa tujuan sore ini dan sore-sore dulu tidak aku rasakan sebagai kesia-siaan. Walau sering saat aku ceritakan ke beberapa kawan mereka menyebutku gila atau kurang kerjaan.
Kadang memang ada saat dimana hanya aku yang benar-benar paham akan apa yang aku lakukan. aku yang paling tahu itu bertujuan, toh aku hidup bukan dari persepsi sekitaran, aku hidup di takdir Tuhanku yang lepas dari kesia-siaan.

tempat biasa
untuk kesekian kalinya

Labels:

Wednesday, May 23, 2012

hak atas surga


Tiba-tiba saja pertanyaan yang sama terlontar lagi, entah untuk yang keberapa kali tentang beberapa sahabat yang berbeda agama. pertanyaan yang berangkali siapapun sering membahasnya dalam perbincangan ringan sambil makan semangkok bakso atau sambil duduk menikmati perjalnan. Pertanyaan, apa dia (sahabat bukan muslim) itu berhak atas surga Tuhan dengan segala kebaikannya?
***

Mereka yang pertama dengan tegas menjawab bahwa orang islam dan bukan islam, pada dasarnya, tidak berbeda. Setiap orang yang berbuat baik, seperti mendirikan lembaga sosial, menyumbangkan hartanya untuk kebajikan, berhak menerima pahala atau ganjaran dari Tuhan.

Mereka berpendapat bahwa Tuhan Maha Adil sehingga dia tidak akan mengistimewakan salah seorang diantara ciptaannya. Karena Tuhan tidak menyiakan perbuatan manusia. Tidak akan ada penilaian yang berbeda atas amalan hanya karena satu beriman dan satunya tidak.

Mereka yang kedua. Tentunya sebagahian lain dari yang pertama, mereka benar-benar menentang pendapat sebelumnya. Menurutnya bahwa seluruh manusia mesti mendapat siksa dan tidak ada yang selamat kecuali sedikit saja. Dengan anggapan tesebut maka terkelompoklah muslim atau tidak muslim. Keduanya kan mendapat siksa atas dosa di dunia namun yang menjadi pembeda adalah bahwa pengampunan hanya milik mereka yang islam. Mereka yang bukan akan kekal selamanya di neraka.

Terlalu dangkal barangkali mengelompokkan menjadi dua. Tapi begitulah kira-kira yang aku dengar tentang agama dan serangkaian pembenaran dari keduanya. Yang pertama tidak melihat alam ini kecuali kedamaian dan keselamatan, sedang yang ke dua tidak melihat sesuatu di dalamnya kecuali murka dan dendam kesumat.


Lalu..
Di mana Dia yang Maha Pengasih?
Bagaimana membuktikan Dia Maha Adil?

Aku merenung tentang apa yang sudah kulakukan dalam hidup. Manusiaku berharap ada pengampunan atas segala perbuatan buruk yang sudah terlewat, dalam doa akupun meminta kepada Tuhan untuk dapatkan kesempatan mencicipi surga.

Bagiku, di sisi Tuhan tidak mungkin ada orang mulia tanpa pembenaran, sedangkan mustahil ada orang hina dan terusir dari rahmat Tuhan tanpa alasan. Karena aku yakin Allah tidak memiliki hubungan kekerabatan denngan siapapun.

*Percakapan di atas sprai bermotif mawar merah itupun berhenti dengan senyum. Biarkan Tuhan yang menyelesaikan apa yang di luar kemampuan kita untuk pikirkan. Aku yakin pasti dia (sahabat bukan muslim) mendapatkan yang semestinya dia dapatkan. wallahualam bisshawab.


Labels:

Monday, April 09, 2012

bukuku

representasi gelap terangmu, bukuku
Berharganya jeda membuat susunan huruf dapat terbaca. Jeda yang membuat dua puluh tujuh huruf yang sama dapat tersusun menjadi kata yang berbeda. Hari ini jeda pula yang sadarkan mataku sangat ingin membacamu. kata-kata.

Dua tahun yang lalu aku temukan sebuah 'tulisan', sangat menikmatinya karena yang terbaca terurai menjadi guru ajarannya dalam bentuk bahasa.

Bukan hanya tentang luar biasanya cerita yang  dikisahkan, tapi juga caranya memilih kata membuat salutku pantas tertumpah, ini tidak berlebihan, karena memang begitu rasanya.

Sepuluh jam menikmati rangkaian kata, naik turun emosi kisah yang diceritakannya sangat singkat terasa, seandainya dia mau menjawab aku ingin bertanya apa dia senang aku baca berjam-jam, walau sesekali aku lihat lembarannya tersenyum sesekali merengut.

Setelah dua tahun lebih aku membacanya, hari ini tak jua cukup aku puas menikmatinya. Dalam balutan sampul bertema victoria dia selalu membua inginku meronta membuka dan melahap kata perkata. aku berdoa ini melekat hingga nanti walau sadar sesekali aku terlantarkan dia dibawah tumpukan kertas tugas kerja.

Terima kasih Tuhan atas karunia mata yang kau pasangkan bersama deretan kata ini. jodohkan kami agar aku terus bisa mempelajari dunia. kuatkan dia agar terus alirkan kalimat-kalimat untukku.

aku tak akan bosan membaca sampai akhirnya kau tak kuasa menyusun kata.

Aku di Sayap Selatan,
kau sedang di Jakarta
8 April 2012

Labels: